Sabtu, 03 Juni 2017

Menembus Bayang Menggapai Senyuman, Kisah Perjuangan (bisa) Masuk Fakultas Kedokteran






Ini adalah sebuah cerpen yang saya angkat dari kisah nyata saya mengejar impian untuk memakai jas putih berkalung stetoskop, cita-cita masuk Fakultas Kedokteran, dengan total penolakan sebanyak 6 kali ujian masuk.


Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti lomba cerpen Kantor Bahasa kota Ternate tahun 2017 untuk tema Sekolah Menengah Atas. Dan tepat saat ada panggilan untuk presentasi di Kantor Bahasa untuk menentukan pemenangnya, justru saat itulah anak pertama saya akan lahir. Sehingga saya lewatkan moment tersebut. Tapi tentu saja, melihat anak terlahir dalam kondisi sehat ibu dan anak ialah hal yang lebih membahagiakan saya.

Setting dan penokohan saya ambil dari kejadian real, termasuk alur permasalahannya. Mungkin hanya beberapa yang saya terlupa sehingga saya tulis dengan cara pemikiran yang agak berbeda tapi tidak terlalu jauh menyimpang dengan fokus cerita.

Salam buat teman-teman semua yang ada dalam cerita ini, khususnya Aji Ontowirwo sang Basis yang mungkin juga membaca tulisan ini, yang tidak saya masukan agar tokohnya nggak terlalu banyak, toh juga dirimu sudah duluan dapet kampus jauh sebelum cerita ini dimulai, he he

Semoga dapat diambil manfaatnya...

**********************

“Orang yang paling disayang adalah orang yang paling banyak diuji oleh-Nya. Kau yang terbaik, Dena!”

Tak ku sangka sebuah pesan langsung masuk setelah aku menyalakan ponselku kembali. Sebuah pesan dari sahabatku, Iqbal, yang selama ini tampak tak pernah bicara serius, namun ini untuk pertama kalinya aku membaca tulisannya begitu serius menanggapi persoalanku.

Persoalan klasik yang kerap dialami oleh para lulusan SMA. Ya, kebingungan mencari perguruan tinggi. Bukan kebingungan karena banyak pilihan, tapi kebingungan karena tak ada pilihan sama sekali. Tidak lolos dalam seleksi masuk perguruan tinggi apapun. Yang tidak ku sangka, rupanya kini aku berada pada nasib yang sama dengan mereka.

Entah apakah cita-citaku ini terlalu tinggi. Ah, namun ku pikir sepertinya tidak. Aku yakin selama memang niatku memang demi baktiku kepada orang tua, pasti akan ada pertolongan dari-Nya.

Perkenalkan, namaku Dena Rafikhal. 

Tak usah ditanya apa maknanya, sebab sekarang itu tak penting bagiku. Yang kini jauh lebih penting justru inisial namaku. Apakah aku akan berhasil mewujudkan label yang seumur hidup melekat pada namaku atau tidak.

Coba perhatikan inisial namaku. Benar sekali, inisialnya DR.

Orang tuaku telah mempersiapkanku untuk menjadi seorang dokter, bahkan sebelum aku tahu apa itu dokter. Mungkin malah sejak aku masih belum ada di dunia ini, sejak namaku dibentuk.

Ayah ibuku adalah seorang guru. Beliau adalah pekerja keras yang bercita-cita tinggi. Mereka ingin anak-anaknya lebih sukses daripada mereka kelak. Menjadi seorang dokter adalah salah satu yang pasti akan menjadi kebanggaan dan harapan mereka.

Tanpa peduli keadaan ekonomi atau konsekuensi apapun, orang tuaku terus memompa semangat dan harapannya kepada anak-anaknya.  Agar kami selalu ingat dengan cita-cita tersebut, seluruh saudaraku diberikan nama inisial yang sama, yaitu DR.

Malam ini adalah malam pengumuman SNMPTN 2008. Boro-boro menjadi dokter, kini menjabat status sebagai mahasiswa saja aku kepayahan.

Sengaja aku matikan ponselku sejak aku melihat namaku tidak ditemukan dalam seluruh situs manapun yang menampilkan hasil pengumuman seleksi SNMPTN 2008. Tentu saja karena aku malu kepada teman-temanku. 

Aku membayangkan mereka yang kini sedang bersorak sorai merayakan keberhasilannya melepas status anak SMA menjadi mahasiswa. Pasti mereka sedang sibuk mengirim pesan untuk menanyakan kabar kepada teman-temannya perkara kemana nasib selanjutnya membawa pergi. Apakah Teknik Kimia, ataukah Arsitek, atau Fakultas Kedokteran? Ah, aku sungguh malas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari mereka semua. Tentunya sebab aku tak punya jawabannya.

Ini adalah kegagalanku yang kelima dalam menembus perguruan tinggi. Mulai dari seleksi PMDK, Ujian Mandiri UGM, Ujian Mandiri UNDIP Pertama, Ujian Mandiri UNDIP Kedua, dan kini SNMPTN. Dari semua seleksi yang aku lalui, hampir selalu aku memilih sebuah nama, Fakultas Kedokteran.

Mungkin itu yang membuatku terseok dan tidak semulus teman-temanku. Kata mereka, aku terlalu berat dalam memilih jurusan. Biarlah, tidak apa bagiku. Setiap otak manusia punya pertimbangannya sendiri.

Bagiku, tak ada yang lebih menyenangkan daripada melihat orang tuaku tersenyum sebab anaknya berhasil masuk di Fakultas Kedokteran sesuai harapan mereka. Jadi sudah menjadi konsekuensi bagiku untuk menanggung segala jerih payah perjuangannya. Walaupun kini aku benar-benar tidak tau ke mana nasib akan menghantarkan kakiku melangkah. 

Sebenarnya, bapak dan ibu ingin aku masuk Fakultas Kedokteran melalui jalur PMDK. Alasannya tentu karena biaya masuk kuliah yang nihil bila melalui jalur PMDK. Semuanya berawal dari perjuanganku dalam mendapatkan sebuah formulir pendaftaran PMDK itu. Ku kira semuanya akan mengalir mudah.

Secarik Kertas Beribu Asa

“Dena, bagaimana nilai raportmu semester ini? Naik, bukan?” tanya Ibu ketika liburan sekolah semester pertama.

“Alhamdulillah, Bu. Bisa naik walaupun cuma sedikit-sedikit,” jawabku.

Selalu aku ingat dalam pikiranku, yang biasanya menjadi pertimbangan seorang siswa untuk diterima masuk melalui jalur PMDK adalah nilai raport yang jika dibuat grafik akan menggambarkan tren yang selalu naik mulai dari Semester I Kelas X hingga Semester I Kelas XII. Tentu ini bukan hal yang mudah, tapi aku berhasil mencapai hal itu.

“Jangan lupa mulai cari informasi PMDK ya, Den.”

“Siap, Bu. Besok rencana memang mau main ke Ruang BK sama Riandoko,” jawabku lagi.

Keesokan harinya adalah hari Senin, hari pertama kali kami kembali masuk sekolah setelah menunaikan liburan panjang Semester I. Ini adalah upacara hari Senin yang pertama kali di Semester baru ini.

“Ndok, nanti habis upacara kita ke langsung Ruang BK aja, ya?” Aku mengajak Riandoko, teman sekelasku yang paling pandai. Dia cukup antusias juga mendapatkan peluang PMDK. 

“Iya, Den. Tapi aku juga masih bingung nih mau ambil PMDK jurusan apa,” jawab Riandoko.

“Udah gak usah dipikir, yang penting kita dapet dulu formulirnya. Soalnya itu jumlahnya terbatas,” jawabku.

Setahuku, PMDK adalah satu-satunya jalur masuk perguruan tinggi yang bebas biaya, tentu formulirnya dicetak terbatas hanya bagi para siswa yang benar-benar berminat dan memang layak secara kompetensi untuk masuk di jalur itu.

Selesai upacara, kami berdua langsung menuju ke Ruang BK. Namun dari luar saja, kami sudah melihat puluhan siswa berjejal memenuhi ruangan itu.

“Astaga, penuh sekali Ruang BK hari ini,” keluh Riandoko. 

“Kayaknya teman-teman yang lain juga sudah mulai cari info kuliahan nih, Ndok,” jawabku.

“Woii, Dena Ndoko. Lagi ngapain?” sapa seorang temanku.

Aku menoleh, rupanya ada kawanku Iqbal. Dia adalah salah satu siswa dari luar kota yang bersekolah di sini. Jauh-jauh merantau dari kota Pati untuk sekolah di SMA Semarang.

“Oh, kamu toh, Pati. Cari info kuliah juga ya?” tanyaku padanya.

Iqbal, berhubung dia berasal dari kota Pati, banyak temanku yang memanggil dia dengan nama Pati. Orang tuanya adalah seorang petani yang berusaha keras menyekolahkan anaknya dengan segala keterbatasan. Hal itu menjadi pemompa semangat baginya sehingga dia pun menjadi salah satu siswa berprestasi di sekolah. Aku yakin, orang seperti dia pasti mengincar PMDK juga. 

“Iya, dong. Aku kepingin banget masuk Teknik Kimia, terus kerja jadi Dosen PNS yang ngajar mata kuliah kimia. Bapak Ibuku di kampung pingin banget aku jadi PNS,” jawab Iqbal.

Beruntung dia bukan sainganku masuk Fakultas Kedokteran. Kami bertiga masuk bersama ke ruang BK. Hari ini ruangan itu hampir mirip seperti pasar. Banyak siswa yang berkonsultasi. 

 “Eh, ada Ridzky juga di dalam rupanya,” kata Riandoko, “wah, diem-diem udah cari info duluan nih pak dokter.”

“Hehe... aku nggak ikut PMDK kok. Malah mau tanya informasi Ujian Mandiri,” jawab Ridzky. 

Ridzky juga salah satu teman dekatku. Dia terlahir dengan silsilah dinasti keluarga dokter. Bapak ibunya adalah dokter. Kakeknya juga mungkin seorang dokter. Sehingga sepertinya sudah menjadi takdirnya pasti dia akan memakai jas dokter juga nantinya.

Aku menghampiri meja salah satu guru BK bernama Bu Nunik.

“Dena, mau minta formulir PMDK?” tanya bu Nunik padaku. 

“Iya, Bu, Sudah bisa diambil kapan ya, Bu?” jawabku.

“Wah, kalau sekarang belum ada. Sering-sering saja main kesini.” Jawab Bu Nunik. “Tahun lalu ada siswa yang diterima jaluk PMDK UNS tapi tidak diambil, jadi tahun ini sekolah kita masuk blacklist UNS. Mereka  tidak ngasih formulir lagi.”

“Wah, gawat dong, Bu. Bisa-bisa tahun ini tidak ada PMDK sama sekali,” jawabku.

“Masih ada kemungkinan. Kan masih ada UNDIP. Yang penting, nanti kalau tembus PMDK ya harus diambil,” tambah bu Nunik, “Kasihan adik kelasnya kalau sekolahnya di-blacklist.”

“Ya iyalah, Bu. Sudah bisa diterima saja alhamdulillah banget. Masak nggak diambil,” jawab Iqbal.

Akhirnya kami berempat kembali ke kelas masing-masing. Aku dan Riandoko naik ke lantai 2. Sedangkan Iqbal dan Ridzky di lantai 1. Kami berempat memang sering sekali main bersama di kosan Iqbal. Sekedar untuk mengerjakan PR bersama atau sharing tentang impian masing-masing.

Uniknya, kami berempat mempunyai hobi yang sama yaitu musik. Akhirnya kami pun membentuk sebuah grup band. Aku pegang gitar, Ridzky keyboard, Iqbal yang jadi vokalnya, lalu Riandoko tukang pemukul drumnya. 

Walaupun termasuk anak band, namun kami ini berbeda dari lainnya. Kami tidak banyak keluyuran, apalagi pacaran. Kami tidak ada waktu untuk itu karena kami benar-benar fokus untuk meraih impian masing-masing. Bermain musik hanyalah sebatas mengisi kejenuhan setelah belajar.

Berminggu-minggu aku dan Riandoko mondar-mandir ke Ruang BK mencari info formulir PMDK tapi belum ada hasilnya. Kami berdua sering mengorbankan jam istirahat atau makan siang hanya untuk berkonsultasi dengan bu Nunik.

Sampai tiba waktunya datang informasi tentang PMDK yang sudah dinantikan hampir seluruh siswa di sekolahku. Akhirnya formulir PMDK tersebut datang juga di sekolahku. 

Aku dan Riandoko menjadi orang pertama dan kedua yang berhasil memegang formulir tersebut. Wajar saja, itu adalah perjuangan kami untuk selalu mondar-mandir ke ruangan BK menanyakan kabar PMDK tersebut.

“Jadinya masih galau nggak nih mau nulis jurusan apa? Sudah ada formulirnya di tangan kita loh...” tanyaku kepada Riandoko.

“Sudah enggak dong. Aku sudah punya pilihan kok sekarang.” Jawabnya. “Aku mau ambil kedokteran saja. Biar sama kayak kamu. Nanti kita bisa main dokter-dokteran bareng. Hehe...”

“Yaelah, Ndoook. Akhirnya kedokteran juga toh kamu.”

Kami berdua kembali ke kelas untuk mengisi formulir tersebut. Belum sempat kami mengisi formulir itu, ada temanku yang datang menghampiri kami berdua.

“Nah, ini dia Dena sama Riandoko,” kata Johan.

“Kenapa nyariin kami, Jon?” tanyaku.

“Aku mau minta formulir PMDK. Mau difotokopi buat teman-teman yang lain juga,” jawab Johan.

“Lho, lho. Formulir PMDK kan tidak bisa difotokopi. Ini memang dicetak terbatas, Jon,” jawabku lagi.

“Tadi aku sudah ketemu bu Nunik. Katanya suruh minta ke Dena atau Riandoko saja,” tambahnya lagi.

“Wah, kalau gitu kita ke Ruang BK lagi saja. Biar saya tanyakan dulu ke Bu Nunik,” jawabku lagi.

Akhirnya kami semua bergegas menemui Bu Nunik di Ruang BK. Setelah dikonfirmasi, rupanya memang formulir PMDK tahun ini boleh diperbanyak dan dibagikan ke siapa saja siswa yang berminat untuk mendaftar pada jalur tersebut.

Alhasil aku dan Riandoko lemas mendengar itu.

“Yah, percuma kita tiap hari mondar-mandir mencari formulir ini.” kataku kepada Riandoko.

“Yang santai-santai di kelas juga bisa dapet dengan cuma-cuma,” jawabnya.

“Yah tidak apa-apa deh, bagi-bagi rezeki,” kataku sambil menuliskan sebuah kata pada formulir PMDK tersebut. “FAKULTAS KEDOKTERAN”. Lalu aku kumpulkan kembali kepada Bu Nunik di ruang BK.

Pada akhirnya, entah mengapa tidak ada siswa di sekolahku yang tembus jalur PMDK tahun 2008 itu. Mungkin karena pernah ada blacklist dari kampus lain atau apalah kami tidak mengerti.

Kami tak menghiraukannya dan tidak merasakan kesedihan sama sekali. Toh juga memang tidak ada siswa yang diterima.

Itu adalah kali pertama aku tidak berhasil menembus Fakultas Kedokteran. Walaupun aku tidak mengira bakal ada kali kedua, kali ketiga, dan kali-kali selanjutnya yang membuatku merasa begitu kebingungan seperti malam ini.

Bergerak dan Terus Bermimpi

Beberapa waktu setelah itu, kami mendengar informasi mengenai Ujian Mandiri untuk masuk perguruan tinggi UGM. Disusul dengan Ujian Mandiri masuk UNDIP.

Antusiasme kembali muncul di wajah para siswa. Walaupun tampaknya banyak dari mereka yang mulai ragu dengan nominal angka yang harus diisi sebagai uang masuk jika memang mereka diterima melalui jalur Ujian Mandiri.

Ujian Mandiri memang terkenal sangat mahal. Biaya masuknya sudah diurutkan sesuai dengan banyaknya peminat maupun prospek jurusannya. Tentu saja Fakultas Kedokteran menjadi nomor wahid dengan biaya termahal yaitu minimal lima puluh juta rupiah.

“Wah, aku gak ikut kalau jalur UM-UM-an gini,” kata Iqbal, “Kasihan orang tuaku. Aku mau berjuang biar lulus SNMPTN.”

Beberapa orang temanku ada yang mengisi jumlah uang yang gedung sebesar nol rupiah, namun sambil melampirkan surat keterangan tidak mampu dari tempat tinggalnya.

“Gimana, Pak. Aku ikut Ujian Mandiri juga atau tidak?” Aku berdiskusi dengan kedua orang tuaku.

 “Ikut saja tidak apa-apa, Dena.” Kata Bapak.

“Terus aku isi nominal biayanya berapa, Pak? Tanyaku.

“Jangan diisi nol rupiah. Bapak masih bisa mengupayakan uang lima puluh juta untuk biaya masuk di Fakultas Kedokteran, insha Allah kita sama-sama berdoa terus sama Allah.” 

Aku mantap melanjutkan perjuanganku untuk berlaga di Ujian Mandiri. Baik itu UGM maupun UNDIP, keduanya aku ikut. Keduanya pula, aku tuliskan sebuah nama, Fakultas Kedokteran.

Riandoko juga ikut Ujian Mandiri UGM dan UNDIP. Sedangkan Ridzky hanya ikut Ujian Mandiri UNDIP saja. Iqbal masih fokus untuk mengejar jalur SNMPTN.

“Ayo, kita belajar bareng lagi dikosanku,” ajak Iqbal.

“Yuk, udah lama nggak main ke kosan Pati,” jawabku.

Kami berempat singgah di kosan Iqbal sore hari sepulang sekolah. Di sana kami melihat situasi kosannya yang penuh dengan buku.

Ya, penuh dengan buku lengkap dengan stabilo dan kertas catatan kecil. Berserakan di mana-mana. Buku-buku pelajaran kelas XII SMA. Jelas itu buku pelajaran milik Iqbal. Dia begitu bersemangat memburu SNMPTN. Demi kedua orang tuanya di kampung halaman pasti.

 “Dasar, Pati itu anaknya ruajiin tenan. Tuh liat bukunya aja berserakan di mana-mana.” kata Riandoko.

“Huuu kalau di sekolah aja ngajaknya ngeband melulu. Rupanya karena di kosan kebanyakan belajar sih,” kata Ridzky.

“Nha, kan kudu seimbang aa. Study hard and Play Harder, hehe...” jawab Iqbal sambil berlagak menggunakan bahasa Inggris namun tetap masih terlihat dialeg jawa khas Pati.

Kami berempat belajar bersama mengerjakan soal-soal latihan ujian dari koleksi buku milik Iqbal. Ya, sekali lagi, walaupun label sebagai anak band melekat pada diri kami di sekolah, namun kami adalah anak-anak yang bermimpi besar. Mungkin, di dunia ini hanya kami lah anak band yang kutu buku.

“Kereeen. Teman-temanku pintar semuaa. Soal sesulit ini akhirnya bisa terpecahkan juga berkat otak kita yang brilian, hehe...” kata Iqbal sambil merebahkan dirinya di lantai.

Sudah satu jam lebih kami serius berkutat dengan puluhan soal. Wajar saja kami mulai lelah dan ingin bersantai.

“Ayo, Dena, Diminum dulu. Ayo, Ndoko, Pak Dokter Ridzky, jangan malu-malu.”

Maklum anak kosan, kami minum sebotol air putih dari kulkas dengan secangkir gelas yang dipakai bergantian. Namun kami sangat menikmati suasana itu. Kelak kami akan merindukan masa-masa ngumpul bareng seperti ini.

“Besok kalian bertiga akan jadi dokter. Yang bukan dokter cuma aku. Jadi aku kalau sakit bisa pilih berobat ke dokter Ridzky, Riandoko, atau Dena. Gratis semua...hehe” kata Iqbal sambil bergurau.

“Ya periksanya gratis, tapi obatnya tetep bayar lho Pati, hehe...” jawabku.

 “Besok sekali-sekali pas liburan kuliah main ke rumahku di Pati. Nanti aku kenalin ke orang tuaku. Mereka orangnya baik banget. Nanti aku kasih makanan namanya nasi jagung. Belum pernah makan pasti kan?” Ajak Iqbal.

“Siaaap... nanti aku diajarin cara ngasih makan sapi ya Pati, hehe...” sahut Riandoko.
Tak terasa memang, sudah tiga bulan berjalan di penghujung semester terakhir di SMA. Itu artinya memang, kurang tiga bulan lagi kebersamaan kami. Setelah itu, semuanya akan menempuh perjalanan hidupnya masing-masing.

“Oiya, kita pada mau datang di acara malam perpisahan kan? Di hotel Rinjani itu,” Tanyaku kepada mereka.

“Insha Allah, mumpung masih bisa ketemu temen-temen,” jawab Ridzky.

“Soalnya begini, kata si Mahdi, temen sekelasku yang jadi panitia, ada acara live musiknya juga. Aku ditawarin sama dia, band kita mau ngisi enggak,” kataku.

“Waduhh... ya kepingin sih, tapi masih malu juga kalau harus nyanyi depan banyak orang. Apalagi depan temen sendiri, bisa ngakak sendiri nanti nggak konsen, haha...” jawab Iqbal.

Bandku memang baru saja dibentuk justru di masa-masa terakhir aku memakai seragam putih abu-abu. Sehingga jam terbang kami memang masih sangat minim. Kami belum pernah manggung sama sekali, namun justru ini akan menjadi cerita baru bagiku dan teman-teman.

Menggores Kisah yang Baru

 “Nggak apa-apa, Pati. Aku juga belum pernah main gitar di panggung. Kita semua sama-sama belum berpengalaman semua, tapi ini justru bisa menjadi pengalaman berharga kita,” jawabku.

“Nanti aku buatkan lagu khusus buat band kita. Biar keliatan keren, lho. Ini band baru udah punya lagu sendiri.” Aku menambahkan semangat kepada teman-temanku.

“Oke deh gapapa. Kita masih punya waktu dua bulan buat latihan.” Iqbal akhirnya menyanggupi. Begitu pula Riandoko dan Ridzky.

Akhirnya, dua bulan ini menjadi waktu yang begitu padat dengan dua kegiatan, yakni kegiatan belajar bareng dan latihan ngeband bareng. Kami menjadi semakin sering bersama. Hingga kami sudah merasa seperti saudara sendiri.

“Minggu depan Dena dan Riandoko berangkat ke Jogja buat Ujian masuk UGM. Semoga lancar, ya.” Kata Ridzky.

“Udah jangan mikirin manggung dulu, hajar dulu tuh soal-soal di Jogja nanti. Kan kita udah sering latihan soal. Pasti sukses!” tambah Iqbal.

Aku dan Riandoko berencana untuk berangkat bersama naik motor ke Jogja. Sampai tiba juga kami berdua di kampus UGM untuk bertempur melawan puluhan soal. Di luar dugaan, Ujian Mandiri UGM memang luar biasa. Luar biasa susahnya!

“Ah, sudahlah. Aku pusing kalau mengingat lagi ujian yang tadi,” kata Riandoko. Teman sejenius Riandoko saja dibuat kerepotan dengan soal ujiannya. 

Seminggu setelah ujian masuk UGM, kami kembali bertempur melawan Ujian Mandiri UNDIP. Kali ini, Ridzky ikut menjadi bala tentaranya.

“Semangat ya teman-teman, aku doain kalian semua sukses!” kata Iqbal beberapa hari menjelang ujian dimulai.

Masih sama dengan ujian masuk UGM. Pada Ujian Mandiri UNDIP kali ini aku pun masih berjuang merebut posisi bangku Fakultas Kedokteran. Begitupun kedua temanku, Riandoko dan Ridzky. Alhamdulillah, Ujian Mandiri UNDIP terasa jauh lebih mudah daripada UGM.

Aku begitu senang memiliki sahabat yang selalu bersemangat seperti Iqbal, Riandoko, dan Ridzky. Mereka selalu memberi energi ketika aku berhadapan dengan soal-soal ujian masuk. Walaupun energi terbesarku masih tetap membayangkan bapak ibu tersenyum melihat anaknya masuk Fakultas Kedokteran.

Akhirnya, aku menuliskan sebuah lagu untuk acara malam perpisahan nanti dengan tema persahabatan. Sebuah lagu yang mungkin teman-temanku menafsirkannya sebagai sebuah lagu cinta, namun sebenarnya ini adalah lagu yang aku persembahkan untuk mereka sendiri.

Jalani hari segenap hati
Mencari arti kemana langkah pergi
Kau temaniku setiap langkahku
Tak ada ragu hilang semua belenggu

Namun ku tahu waktu berlalu
Tak kan menunggu tuk bersamamu
Waktu pun tahu walau kan jauh
Tapi kau tetap selamanya

Mengapa cinta slalu bersama
Akankah cinta slalu bersama
Mengapa cinta slalu menjaga
Akankah cinta slalu menjaga

“Kamu habis minum apa kok mendadak jadi romantis begini? Kamu lagi jatuh cinta ya?” tanya Iqbal.

“Jatuh cinta itu ngga enak, lebih enakan bangun cinta, hehe...” jawabku.

Pukulan Keras di Wajah

Kami semakin rajin untuk berlatih ngeband. Meskipun Ujian Nasional semakin mendekat, tapi semangat kami semakin berkobar. Sepulang sekolah menjadi agenda rutin kami untuk berkumpul. Pertama, kami belajar bersama mengerjakan kumpulan soal. Lalu kami rehat di studio musik untuk berlatih.

“Lagunya enak banget, kuncinya gampang ngga neko-neko,” kata Ridzky sang keyboardis.

“Nanti kalau aku bikin yang susah malah tambah menciut mentalnya buat manggung,” jawabku sambil bergurau.

 “Besok aku bilang ke Mahdi buat daftarin band kita,” Kata Riandoko. 

Ya, akhirnya kami sang siswa kutu buku ini resmi mendapat nomor urut buat ngeband. Kami yang biasanya berada di depan kelas untuk presentasi soal pelajaran, kini untuk pertama kalinya kami akan berada di depan untuk bermain musik.

Perasaan deg-degan, tentu saja ada. Karena itu adalah pengalaman pertama bagi kami berempat. Namun selama kami selalu saling mendukung, pasti semua akan berjalan lancar. Ujian Nasional pun berhasil pula kami lewati dengan lancar. 

Sampai tiba di hari pengumuman Ujian Mandiri UNDIP. Aku berangkat di sekolah seperti biasa. Ku lihat beberapa anak berlari-larian kegirangan. 

“Selamat yaaa.... selamat yaa...”

Terdengar sorak sorai dari sayup sayup kerumunan anak-anak di sekolahku. Oiya, aku baru sadar kalau hari ini hari pengumuman Ujian Mandiri UNDIP.

Kalau dilihat dari model reaksi teman-temanku, tampaknya hampir semuanya tembus deh, pikirku. Aku semakin optimis bergegas melangkahkan kakiku di kelas, mungkin inilah hari terbaikku di mana aku melihat bapak ibu tersenyum mendengar kabar anaknya masuk Fakultas Kedokteran.

“Dena, sudah lihat pengumuman Ujian Mandiri UNDIP belum?” Ridzky tiba-tiba datang ke kelasku.

“Ridzky udah jadi Pak Dokter beneran, euiy!” kata Iqbal yang ikut main ke kelasku.

“Wah, udah keterima kamu? Selamat yaa, selamat. Aku belum liat pengumumannya,” kataku.

“Ayo ke warnet sebelah buat liat pengumumanmu. Biar kami berdua menjadi saksi sejarah hidupmu. hehe...” kata Ridzky.

“Ridzky aja keterima, kamu pasti juga. Temen-temen yang biasa-biasa aja banyak yang keterima Fakultas Kedokteran. Sampai nyesel aku rasanya nggak ikut jadi dokter sekalian. Haha...” tambah Iqbal.

Akhirnya kami bertiga berjalan menuju warnet. Hari itu warnet menjadi penuh dengan anak SMA. Tampaknya mereka juga berbondong ingin melihat hasil pengumuman. 

Aku duduk diapit kedua sahabat terbaikku. Dengan bergegas ku ketikkan alamat situs pengumuman Ujian Mandiri UNDIP. 

“Ayo, Boy, ketikkan nomor pendaftaranmu,” kata Ridzky.

“Selamat ya selamat. Yang penting kasih selamat dulu,” Iqbal pun heboh sendiri di ruangan yang sempit itu.

Setelah ku ketikkan nomor pendaftaranku, aku melihat sebuah kalimat yang tidak ku harapkan muncul.

“Nomor pendaftaran Anda tidak ditemukan dalam daftar mahasiswa Ujian Mandiri UNDIP 2008?? Beneran nggak nih??” kata Iqbal.

“Coba aku yang ngetik. Mungkin Dena salah ketik.” Ridzky berusaha memproses ulang halaman pengumuman itu.

Aku hanya terdiam tak berkata-kata. Ku pikir aku akan melihat senyum bapak dan ibu hari ini. Senyum yang selama ini aku bayangkan. 

“Ngga apa-apa ya, Dena. Masih ada SNMPTN.” Kata Ridzky setelah berkali-kali memasukkan nomor pendaftaranku dan melihat hasilnya tetap sama saja, tidak ditemukan dalam daftar mahasiswa yang lulus Ujian Mandiri UNDIP 2008.

Aku mulai merasa terpukul dengan pengumuman itu. Masalahnya adalah soal ujian itu terasa begitu mudah bagiku. Jika yang ini saja aku tidak lulus, bagaimana dengan hasil ujianku lainnya nanti.

“Nggak apa-apa, Dena. Nanti kita belajar bareng lagi buat SNMPTN. Tampaknya Allah masih kepingin kita buat belajar bareng, nih.” Kata Iqbal berusaha menghiburku.
Aku menarik nafas panjang, ku simpan kembali impianku.

Tunjukkan Kesungguhanmu

Beberapa hari setelah pengumuman Ujian Mandiri UNDIP, kami kembali mendapat kabar yang tidak biasa. Iqbal, diminta oleh ayahnya pulang ke kampung halaman di Pati.

Sepulang sekolah, aku dan Ridzky sengaja mampir ke kosan Iqbal. Kawanku satunya lagi, Riandoko, sepertinya juga pergi ke luar kota untuk urusan keluarga.

“Ada apa Pati, kok mendadak pulang ke Pati?” tanyaku. 

“Gak enak banget sih kamu bertanya. Pati pulang ke Pati,” jawabnya, “Ya nggak ngerti juga. Diminta Bapak. Gapapa lah sekalian minta doa buat SNMPTN”

“Aku kemarin ditelpon Bapak dari kampung. Aku cerita banyak hal. Termasuk rencana kita untuk manggung perdana di acara perpisahan besok,” kata Iqbal menambahkan lagi.

“Terus gimana, mesti Bapakmu bangga banget ya anaknya jadi vokalis band?hehe...” sahut Ridzky.

“Justru sebaliknya. Inilah yang ingin aku katakan,” jawabnya.

Mendadak raut wajahnya menjadi penuh kecemasan. Tidak seperti Iqbal yang biasanya penuh optimis dan canda tawa. 

“Bapak tidak senang dengan kegiatan ngeband kita.”

Iqbal tampak begitu berat mengatakan ini kepada kami berdua. “Aku merasa bersalah. Bapak sudah pontang panting cari uang di kampung untuk biaya sekolahku, tapi aku pakai untuk sewa studio musik berjam-jam lamanya.”

“Jika hanya begitu saja masih mending. Aku khawatir jika nanti aku tidak lulus SNMPTN gara-gara kurang prihatin terhadap masa depanku, terlalu sering bersenang-senang. Pastilah Bapak di kampung kecewa berat denganku.”

Raut wajahnya merah padam. Aku belum pernah melihat Iqbal seperti ini sebelumnya. Tampaknya Iqbal pun punya impian besar sepertiku, ingin membuat Bapak Ibunya tersenyum mendengar kabar dirinya diterima perguruan tinggi. Bedanya, dia terobsesi berat menjadi dosen kimia.

“Tapi kita kan tidak ngeband terus-terusan. Kita juga belajar. Lagipula, kita lebih prioritas belajar kok. Buktinya, kita selalu belajar dulu baru ngeband.” Jawabku kembali meyakinkan Iqbal.

“Tidak bisa segampang itu, Dena. Tidak segampang itu untuk menunjukkan keseriusan kita kepada Allah. Untuk meraih hal yang benar-benar kita impikan, kita harus menunjukkan keseriusan kita kepada Allah lewat apa saja yang kita kerjakan.”

“Aku benar-benar khawatir Allah melihatku tidak serius SNMPTN karena terlalu asyik main musik. Orang tuaku berbeda dengan kalian. Jika aku tidak diterima perguruan tinggi melalui jalur SNMPTN, aku benar-benar tidak mampu membayar kuliah lewat jalur lainnya yang mahal.” 

Iqbal benar-benar sedang mengutarakan apa yang selama ini ia khawatirkan. Ya, mungkin tidak hanya kekhawatiran Iqbal saja. Namun juga kekhawatiran seluruh siswa di dunia yang bernasib sama dengannya. Lagi-lagi persoalan ekonomi.

“Jadi, kita tidak jadi manggung?” tanya Ridzky.

“Boro-boro manggung. Datang saja sepertinya aku tidak,” jawab Iqbal, “Aku benar-benar tidak ingin menyia-nyiakan beberapa waktu yang singkat ini untuk menunjukkan keseriusanku kepada Allah dan orang tuaku.”

“Aku minta maaf kepada kalian semua. Kalian bisa cari vokalis lain dan tetap manggung di malam perpisahan,” tambahnya. 

“Ya enggak mungkinlah kami cari vokalis yang lain. Kalau cari vokalis lain itu namanya bukan band kita,” jawabku.

“Jangan begitu, ini kesempatan kita bisa tampil bersama. Mungkin juga ini yang terakhir kalinya kita bermain musik bersama.” Aku masih berharap Iqbal mengubah keputusannya.

“Mana biar aku saja yang sms minta izin Bapak di kampung, hehe...” tambah Ridzky sambil bergurau.

“Dengar ya Dena dan Ridzky, kalau sekali aku bilang tidak ya berarti tidak!”

Baru kali ini aku melihat Iqbal membentak kami. Aku pun melihat tangannya mengepal begitu kencang sambil wajahnya semakin merah menahan amarah.

“Aku pulang saja,” kata Ridzky sesaat setelah Iqbal membentak kami berdua. Segera dia meraih motornya dan meninggalkan kami berdua.

“Aku juga pulang dulu,” kataku kepada Iqbal. Aku mengemasi barangku dan bergegas meninggalkan kosan Iqbal, tempat kami biasa menanam impian bersama. Dan kini kami sendiri yang justru memangkas kembali impian yang sudah tumbuh begitu tingginya.

Iqbal hanya termenung ditinggal kedua kawan terbaiknya. Tak ada respon darinya ketika kedua temannya pergi meninggalkannya.

Sepanjang perjalanan pulang aku tak berhenti memikirkan Iqbal. Aku tidak menyangka dia menjadi begitu marah. Jika aku dan Ridzky tidak segera pulang, mungkinkah kepalan tangannya itu jatuh ke wajah kami? Ah, tidak mungkin. Dia anak yang begitu baik dan patuh kepada orang tuanya.

Mungkin karena sayangnya terhadap bapak ibunya di kampung, dia akhirnya melepaskan segalanya yang dia inginkan demi orang tuanya. Aku pun mengerti kondisinya saat itu. Iqbal benar-benar ingin melihat bapak ibunya tersenyum seperti impianku juga. Kami berdua sama.

Lelah yang Tiada Tepi

Aku tetap saja masih saja menaruh harapan bahwa Iqbal akan kembali bergabung kepada kami untuk manggung bersama di acara malam perpisahan.

“Tidak mungkinlah, lihat sendiri situasinya sudah seperti kemarin. Kamu mau kita malah jadi bertengkar gara-gara masalah ini?” kata Ridzky kepadaku di sekolah.

“Masalahnya kita sudah mendaftar. Kita sudah mendapatkan nomor urutan main sebagai band pembuka. Tidak bisa begitu saja cancel.” Jawabku kepada Ridzky.

Akhirnya aku benar-benar berpikir untuk mencari vokalis lainnya. Beberapa nama temanku yang aku pernah dengar suaranya cukup lumayan sudah aku tuliskan.

“Gimana kalau kita ajak Bramudya? Dulu aku pernah sekelas dengannya, dia sukanya nyanyi gak jelas di kelas, tapi suaranya lumayan oke,” kataku kepada Ridzky.

“Waduh jangan kalau anak itu. Bagus sih memang suaranya. Dulu aku pernah liat dia pas latian ngeband, nggak pernah fokus. Ketawa terus, nggak kelar-kelar nyanyinya,” jawab Ridzky.

“Riandoko kemana sih lama banget ke luar kota.” Kawanku yang satu itu memang mendadak tidak ada kabar sama sekali. 

Selain sibuk memikirkan vokalis pengganti, aku pun tak lupa dengan cita-citaku menjadi dokter. Sehingga aku pun mengisi kepalaku dengan berbagai jejalan materi sebagai bekal SNMPTN yang akan aku hadapi besok.

Sampai akhirnya, mungkin karena terlalu lelah, aku jatuh sakit juga. Tidak main-main rupanya, badanku panas setinggi 40 derajat celcius. Ibu langsung membawaku ke rumah sakit.

“Kok diinfus segala sih, Bu. Aku kan jadi nggak bisa sekolah.” kataku kepada Ibu.
“Ibu khawatir kamu kena demam berdarah, Dena. Lebih baik istirahat sebentar. Apalagi sudah mau ujian SNMPTN, kamu harus fit,” jawab Ibu.

“Jangan diingetin SNMPTN, Bu. Justru dia itu sakit karena kebanyakan mikir ujian, hehe...” Ada kakak juga yang ikut menungguku di rumah sakit. Sambil ngeledekin aku.
Ya sudahlah, tampaknya aku memang terlalu lelah.

Aku menghubungi Ridzky untuk memberitahukan kondisiku sekarang. “Ridzky, aku tidak masuk sekolah hari ini. Aku diopname karena ada gejala demam berdarah.” 

Yang jadi masalah, tepat dua minggu lagi malam perpisahan diselenggarakan. Aku tidak tahu berapa lama aku harus bermalam di rumah sakit. Aku masih belum berlatih dengan teman-teman. Aku pun belum menemukan vokalis pengganti.

Energi Penghabisan

“Bagaimana nasib band kita? Impian manggung membawakan lagu sendiri tak usah lagi diharapkan. Vokalis tak ada, gitaris pun sedang terbaring tak berdaya di rumah sakit.”

Aku membaca sebuah pesan masuk. Dari Riandoko rupanya. Lama sekali dia juga tak ada kabarnya. Kini dia datang bersama Ridzky untuk menjengukku di rumah sakit.

“Den, aku sudah cancel jadwal kita manggung ke Mahdi,” kata Riandoko.

“Sudahlah, yang penting kamu sehat dulu, biar bisa belajar bareng lagi sama Pati buat persiapan SNMPTN,” tambah Ridzky.

“Masih ada Ujian Mandiri UNDIP kedua kok, Dena. Aku juga mau coba daftar itu,” kata Riandoko.

Ternyata, Riandoko juga tidak lulus Ujian Mandiri UNDIP Pertama. Dia dan diriku pun akhirnya ikut untuk seleksi kedua.

Seminggu kemudian, badanku sudah lumayan pulih. Aku sudah kembali berkumpul dengan teman-teman di sekolah. Tanganku sendiri memang menjadi bengkak karena bekas suntikan infus, jelas sudah tidak bisa aku mainkan kunci-kunci gitar dengan kondisi tangan sebesar gajah ini. Jadi memang tidak mungkin lagi aku paksakan diriku untuk manggung. Sudahlah, yang penting Fakultas Kedokteran harus terkejar.

“Maaf ya teman-teman. Aku nggak ada maksud membuat band kita jadi berantakan dengan pulang ke Pati. Aku cuman ingin kita fokus ujian masuk perguruan tinggi dulu,” kata Iqbal.

“Nggak apa-apa, Pat. Aku juga mendadak sakit, mungkin juga ditegur sama Allah,” kataku.

“Sudah, kita belajar bareng lagi yuk, aku sama Dena minggu depan ada tes Ujian Mandiri UNDIP Kedua, doain kami ya,” Riandoko pun masih semangat mengejar masa depannya.

“Semoga sukses ya, kawan,” Ridzky, menjadi satu-satunya siswa di antara kami yang sudah mendapat perguruan tinggi.

Tiba juga saatnya aku kembali berlaga di Ujian Mandiri UNDIP Kedua. Hanya kali ini saja, aku tidak menulis Fakultas Kedokteran. Sebab ini sebenarnya adalah seleksi untuk masuk ke kelas ekstensi atau kelas malam. Jelas, tidak mungkin ada kedokteran. Aku dan Riandoko memilih jurusan Akuntansi.

Hasilnya, kali ini Riandoko berhasil lulus seleksi. Dia telah resmi menjadi mahasiswa Akuntansi UNDIP program ekstensi. Sedang diriku, mungkin karena stamina yang belum fit setelah lama terbaring di rumah sakit, aku masih terseok gagal untuk menembus bangku perguruan tinggi. 

“Dena, sudah jangan kebanyakan main gitar. Ayo kita berdua fokus untuk SNMPTN. Ini kesempatan terakhir,” kata Iqbal.

Benar sekali. Ini adalah kesempatanku yang terakhir untuk melihat senyum bapak dan ibu bahagia sebab anaknya masuk Fakultas Kedokteran. Jika kali ini aku juga gagal, berarti aku sudah tidak punya harapan apapun. Bahkan, berharap masuk Universitas Negeri pun tak ada.

Dua minggu menjelang ujian SNMPTN tiba. Aku kerahkan segenap kemampuanku untuk belajar. Setiap malam aku bangun pukul dua pagi untuk belajar. Disambung dengan sholat malam, aku begitu khusyuknya berdoa mudah-mudahan bayangan senyum bapak dan ibu itu menjadi nyata.

“Dena, ayo subuh di masjid,” ajak Bapak pada hari ujian SNMPTN dimulai.

“Iya, pak,” aku bergegas meninggalkan buku kumpulan soal yang sudah aku geluti semalaman berserakan di kamar untuk mengambil wudhu. Hari itu adalah hari di mana aku benar-benar yakin doaku akan terkabul.

“Kan sudah belajar terus dari kemarin, sekarang berdoanya yang kenceng, nanti baca ayat kursi pas masuk ruang ujian,” kata Ibu sebelum aku berangkat ujian SNMPTN.

Lokasi ujian SNMPTN yang memang cukup jauh dari rumah membuat aku harus berangkat diantar bapak naik mobil.

“Bapak tunggu kamu di masjid sana. Nanti kalau sudah selesai kirim sms ya,” kata Bapak padaku.

“Iya, Pak. Doain ya biar lancar,” kataku.

“Bapak doakan Dena mendapatkan jurusan yang terbaik menurut Allah saja, jika Fakultas Kedokteran itu jurusan yang terbaik menurut Allah ya pasti dikasih ke Dena,” jawab Bapak.

Bapak meninggalkanku di lokasi ujian. Mobilnya terlihat bergerak menuju sebuah masjid dekat lokasi ujianku. Kebiasaan Bapak dari dulu sejak aku ujian masuk SMP, setiap menunggu aku ujian, Bapak selalu singgah di masjid untuk mengaji.

Ya, aku hadapi seleksi SNMPTN hari pertama dengan semangat yang begitu menggelora. Fakultas Kedokteran UNS menjadi pilihan pertamaku, sedangkan pilihan kedua aku pilih Teknik Informatika UNS.

Selesai sudah. Hari pertama aku lalui, dengan penuh kekacauan. Ya, aku dibuatnya kesulitan dengan soal yang tidak pernah ku temui dalam ratusan kumpulan soal yang ku pelajari.

Hilang sudah harapanku menjadi dokter. Aku sama sekali tidak optimis bisa menembus Fakultas Kedokteran. Walaupun masih ada hari kedua ujian SNMPTN, tapi dengan perkiraan skorku di hari pertama saja aku sudah pesimis. Untuk mengejar jurusan Teknik Informatika UNS saja sepertinya sulit.

Sang Maha Pemilik Skenario

Begitulah akhirnya. Seperti yang ku lihat malam ini. Tidak ada namaku dalam daftar mahasiswa yang lulus ujian SNMPTN.

Iqbal, kawanku yang berkirim pesan ini, sepertinya paham betul yang aku rasakan. Aku dan dia punya visi yang sama, demi orang tua. Bedanya, dia kini berhasil benar-benar melihat senyum bapak ibunya, sedang aku masih membayangkan saja.

Beberapa saat kemudian, ada informasi yang membuka sedikit harapan bagiku. UNS akan mengadakan Ujian Masuk Swadaya seperti Ujian Mandiri. Bedanya, UNS akan langsung menggunakan nilai SNMPTN untuk mengukur apakah layak tidak untuk diterima dalam program swadaya.

Akhirnya aku masuk juga di jurusan Teknik Informatika UNS melalui jalur Ujian Swadaya tersebut. Walaupun masih ada di dalam jiwaku sebuah nama Fakultas Kedokteran.

Aku teringat Ibu pernah berkata padaku, “Dena, Ibu jadi guru SMA rasanya seneng kalau ketemu murid-muridnya Ibu yang sekarang sudah sukses. Ada yang masuk kedokteran, ada yang masuk STAN. Ibu seneng berhasil mendidik murid ibu. Tapi kadang ibu sedihnya, muridnya Ibu saja bisa masuk jurusan favorit, tapi anak ibu sendiri kok malah tidak. Semoga Allah kasih jalan yang terbaik untuk Dena yang sudah berjuang berkali-kali.”

Maka, ku putuskan kembali menjajal SNMPTN 2009 setelah satu tahun menjabat sebagai mahasiswa Teknik Informatika UNS. Ku tuliskan lagi pilihan pertama Fakultas Kedokteran UNS dan pilihan kedua Fakultas Kedokteran UNDIP.  Ditambah, aku juga mencoba ikut seleksi Ujian Saringan Masuk STAN 2009.

Hasilnya sama saja. Rupanya mungkin memang aku bukan terlahir untuk menjadi dokter. Aku gagal lagi. Itu artinya, kini total sudah lima kali aku ditolak mentah-mentah dalam berbagai jenis ujian masuk Fakultas Kedokteran.

Namun di luar dugaan, justru aku tembus di Ujian Saringan Masuk STAN 2009 yang tidak pernah aku rencanakan. Padahal, Ujian Saringan Masuk STAN terkenal dengan jumlah peminat yang banyak hingga pernah mencapai 10.000 pendaftar.

Aku yang masih di Surakarta segera menelpon orang tuaku.

“Pak, Bu, aku lulus STAN, diambil nggak?” tanyaku.

“Alhamdulillah, ya Allah. Dena lulus STAN, Bu. Sujud syukur gih, Dena!” jawab Bapak terdengar begitu haru dalam telfonku.

Tanpa perlu menunggu jawaban dari Bapak Ibu, melihat responnya saja aku sudah tau jawabnya. Aku akan segera beralih status menjadi anak STAN Jakarta.

Perjalanan adalah Sesuatu yang Menyenangkan

“Pak Dokter, sudah bisa bedah orang?” tanya Riandoko.

“Gampang itu Ndok kalau cuman bedah, jahitnya lagi itu yang susah, hehe...” jawab Ridzky.

Sekian lama kami tidak bertemu. Akhirnya kami bertemu lagi, setelah beberapa lama menjalani takdirnya masing-masing.

“Dena tuh sekarang calon PNS, potongan rambutnya sudah rapih,” kata Ridzky.

“Iya, boy. Tuntutan profesi, hehe...” jawabku.

Kami bertiga berkumpul kembali, namun tanpa Iqbal. Tampaknya dia sedang sibuk menjadi asisten dosen di Jurusan Teknik Kimia UNDIP. Kawanku itu memang anak yang tak pernah lelah untuk mengejar impiannya. 

Iqbal, sekarang kita sudah sama. Kau berhasil mewujudkan impianmu, aku pun begitu. Rupanya, impianku bukanlah Fakultas Kedokteran. Tapi impianku sesungguhnya adalah membuat bapak dan ibu tersenyum. Walau tak melihatnya, namun aku merasakannya. Ketika ku kabarkan lulus STAN melalui telepon, aku merasakan bayangan senyuman Bapak dan Ibu.

Apakah itu artinya aku gagal untuk menggapai arti inisial nama DR yang melekat seumur hidup padaku? Tentu saja tidak.

Justru itu akan selalu menjadi pengingat bagiku. Inisial tersebut akan selalu menjadi pemicu semangat agar aku selalu berusaha keras untuk semakin membuat orang tuaku bahagia.

Apalah artinya seorang anak hidup di dunia jika bukan untuk berbakti kepada orang tuanya. Jangan menyerah walau apapun yang terjadi. Sebab Sang Maha Kuasa pasti akan membantu kita untuk membuat orang tua selalu tersenyum, melalui skenario yang tak pernah terpikirkan seperti yang ku alami.

---ooOoo---





Share:

0 komentar:

Posting Komentar