Ini adalah sebuah cerpen yang saya angkat dari kisah nyata saya mengejar impian untuk memakai jas putih berkalung stetoskop, cita-cita masuk Fakultas Kedokteran, dengan total penolakan sebanyak 6 kali ujian masuk.
Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti lomba cerpen Kantor Bahasa kota Ternate tahun 2017 untuk tema Sekolah Menengah Atas. Dan tepat saat ada panggilan untuk presentasi di Kantor Bahasa untuk menentukan pemenangnya, justru saat itulah anak pertama saya akan lahir. Sehingga saya lewatkan moment tersebut. Tapi tentu saja, melihat anak terlahir dalam kondisi sehat ibu dan anak ialah hal yang lebih membahagiakan saya.
Setting dan penokohan saya ambil dari kejadian real, termasuk alur permasalahannya. Mungkin hanya beberapa yang saya terlupa sehingga saya tulis dengan cara pemikiran yang agak berbeda tapi tidak terlalu jauh menyimpang dengan fokus cerita.
Salam buat teman-teman semua yang ada dalam cerita ini, khususnya Aji Ontowirwo sang Basis yang mungkin juga membaca tulisan ini, yang tidak saya masukan agar tokohnya nggak terlalu banyak, toh juga dirimu sudah duluan dapet kampus jauh sebelum cerita ini dimulai, he he
Semoga dapat diambil manfaatnya...
**********************
“Orang yang paling
disayang adalah orang yang paling banyak diuji oleh-Nya. Kau yang terbaik, Dena!”
Tak
ku sangka sebuah pesan langsung masuk setelah aku menyalakan ponselku kembali. Sebuah
pesan dari sahabatku, Iqbal, yang selama ini tampak tak pernah bicara serius, namun
ini untuk pertama kalinya aku membaca tulisannya begitu serius menanggapi
persoalanku.
Persoalan
klasik yang kerap dialami oleh para lulusan SMA. Ya, kebingungan mencari
perguruan tinggi. Bukan kebingungan karena banyak pilihan, tapi kebingungan
karena tak ada pilihan sama sekali. Tidak lolos dalam seleksi masuk perguruan
tinggi apapun. Yang tidak ku sangka, rupanya kini aku berada pada nasib yang
sama dengan mereka.
Entah
apakah cita-citaku ini terlalu tinggi. Ah, namun ku pikir sepertinya tidak. Aku
yakin selama memang niatku memang demi baktiku kepada orang tua, pasti akan ada
pertolongan dari-Nya.
Perkenalkan,
namaku Dena Rafikhal.
Tak
usah ditanya apa maknanya, sebab sekarang itu tak penting bagiku. Yang kini jauh
lebih penting justru inisial namaku. Apakah aku akan berhasil mewujudkan label
yang seumur hidup melekat pada namaku atau tidak.
Coba
perhatikan inisial namaku. Benar sekali, inisialnya DR.
Orang
tuaku telah mempersiapkanku untuk menjadi seorang dokter, bahkan sebelum aku
tahu apa itu dokter. Mungkin malah sejak aku masih belum ada di dunia ini,
sejak namaku dibentuk.
Ayah
ibuku adalah seorang guru. Beliau adalah pekerja keras yang bercita-cita tinggi.
Mereka ingin anak-anaknya lebih sukses daripada mereka kelak. Menjadi seorang dokter
adalah salah satu yang pasti akan menjadi kebanggaan dan harapan mereka.
Tanpa
peduli keadaan ekonomi atau konsekuensi apapun, orang tuaku terus memompa semangat
dan harapannya kepada anak-anaknya. Agar
kami selalu ingat dengan cita-cita tersebut, seluruh saudaraku diberikan nama
inisial yang sama, yaitu DR.
Malam
ini adalah malam pengumuman SNMPTN 2008. Boro-boro menjadi dokter, kini menjabat
status sebagai mahasiswa saja aku kepayahan.
Sengaja
aku matikan ponselku sejak aku melihat namaku tidak ditemukan dalam seluruh
situs manapun yang menampilkan hasil pengumuman seleksi SNMPTN 2008. Tentu saja
karena aku malu kepada teman-temanku.
Aku
membayangkan mereka yang kini sedang bersorak sorai merayakan keberhasilannya melepas
status anak SMA menjadi mahasiswa. Pasti mereka sedang sibuk mengirim pesan
untuk menanyakan kabar kepada teman-temannya perkara kemana nasib selanjutnya
membawa pergi. Apakah Teknik Kimia, ataukah Arsitek, atau Fakultas Kedokteran?
Ah, aku sungguh malas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari mereka semua.
Tentunya sebab aku tak punya jawabannya.
Ini
adalah kegagalanku yang kelima dalam menembus perguruan tinggi. Mulai dari
seleksi PMDK, Ujian Mandiri UGM, Ujian Mandiri UNDIP Pertama, Ujian Mandiri
UNDIP Kedua, dan kini SNMPTN. Dari semua seleksi yang aku lalui, hampir selalu aku
memilih sebuah nama, Fakultas Kedokteran.
Mungkin
itu yang membuatku terseok dan tidak semulus teman-temanku. Kata mereka, aku
terlalu berat dalam memilih jurusan. Biarlah, tidak apa bagiku. Setiap otak
manusia punya pertimbangannya sendiri.
Bagiku,
tak ada yang lebih menyenangkan daripada melihat orang tuaku tersenyum sebab
anaknya berhasil masuk di Fakultas Kedokteran sesuai harapan mereka. Jadi sudah
menjadi konsekuensi bagiku untuk menanggung segala jerih payah perjuangannya.
Walaupun kini aku benar-benar tidak tau ke mana nasib akan menghantarkan kakiku
melangkah.
Sebenarnya,
bapak dan ibu ingin aku masuk Fakultas Kedokteran melalui jalur PMDK. Alasannya
tentu karena biaya masuk kuliah yang nihil
bila melalui jalur PMDK. Semuanya berawal dari perjuanganku dalam mendapatkan
sebuah formulir pendaftaran PMDK itu. Ku kira semuanya akan mengalir mudah.
Secarik Kertas Beribu
Asa
“Dena,
bagaimana nilai raportmu semester ini? Naik, bukan?” tanya Ibu ketika liburan
sekolah semester pertama.
“Alhamdulillah,
Bu. Bisa naik walaupun cuma sedikit-sedikit,”
jawabku.
Selalu
aku ingat dalam pikiranku, yang biasanya menjadi pertimbangan seorang siswa
untuk diterima masuk melalui jalur PMDK adalah nilai raport yang jika dibuat
grafik akan menggambarkan tren yang
selalu naik mulai dari Semester I Kelas X hingga Semester I Kelas XII. Tentu
ini bukan hal yang mudah, tapi aku berhasil mencapai hal itu.
“Jangan
lupa mulai cari informasi PMDK ya, Den.”
“Siap,
Bu. Besok rencana memang mau main ke Ruang BK sama Riandoko,” jawabku lagi.
Keesokan
harinya adalah hari Senin, hari pertama kali kami kembali masuk sekolah setelah
menunaikan liburan panjang Semester I. Ini adalah upacara hari Senin yang
pertama kali di Semester baru ini.
“Ndok,
nanti habis upacara kita ke langsung Ruang BK aja, ya?” Aku mengajak Riandoko,
teman sekelasku yang paling pandai. Dia cukup antusias juga mendapatkan peluang
PMDK.
“Iya,
Den. Tapi aku juga masih bingung nih mau ambil PMDK jurusan apa,” jawab
Riandoko.
“Udah
gak usah dipikir, yang penting kita dapet dulu formulirnya. Soalnya itu jumlahnya
terbatas,” jawabku.
Setahuku,
PMDK adalah satu-satunya jalur masuk perguruan tinggi yang bebas biaya, tentu
formulirnya dicetak terbatas hanya bagi para siswa yang benar-benar berminat
dan memang layak secara kompetensi untuk masuk di jalur itu.
Selesai
upacara, kami berdua langsung menuju ke Ruang BK. Namun dari luar saja, kami
sudah melihat puluhan siswa berjejal memenuhi ruangan itu.
“Astaga,
penuh sekali Ruang BK hari ini,” keluh Riandoko.
“Kayaknya
teman-teman yang lain juga sudah mulai cari info kuliahan nih, Ndok,” jawabku.
“Woii,
Dena Ndoko. Lagi ngapain?” sapa seorang temanku.
Aku
menoleh, rupanya ada kawanku Iqbal. Dia adalah salah satu siswa dari luar kota
yang bersekolah di sini. Jauh-jauh merantau dari kota Pati untuk sekolah di SMA
Semarang.
“Oh,
kamu toh, Pati. Cari info kuliah juga ya?” tanyaku padanya.
Iqbal,
berhubung dia berasal dari kota Pati, banyak temanku yang memanggil dia dengan
nama Pati. Orang tuanya adalah seorang petani yang berusaha keras menyekolahkan
anaknya dengan segala keterbatasan. Hal itu menjadi pemompa semangat baginya
sehingga dia pun menjadi salah satu siswa berprestasi di sekolah. Aku yakin,
orang seperti dia pasti mengincar PMDK juga.
“Iya,
dong. Aku kepingin banget masuk Teknik Kimia, terus kerja jadi Dosen PNS yang
ngajar mata kuliah kimia. Bapak Ibuku di kampung pingin banget aku jadi PNS,” jawab
Iqbal.
Beruntung
dia bukan sainganku masuk Fakultas Kedokteran. Kami bertiga masuk bersama ke
ruang BK. Hari ini ruangan itu hampir mirip seperti pasar. Banyak siswa yang
berkonsultasi.
“Eh, ada Ridzky juga di dalam rupanya,” kata
Riandoko, “wah, diem-diem udah cari info duluan nih pak dokter.”
“Hehe...
aku nggak ikut PMDK kok. Malah mau tanya informasi Ujian Mandiri,” jawab
Ridzky.
Ridzky
juga salah satu teman dekatku. Dia terlahir dengan silsilah dinasti keluarga
dokter. Bapak ibunya adalah dokter. Kakeknya juga mungkin seorang dokter. Sehingga
sepertinya sudah menjadi takdirnya pasti dia akan memakai jas dokter juga
nantinya.
Aku
menghampiri meja salah satu guru BK bernama Bu Nunik.
“Dena,
mau minta formulir PMDK?” tanya bu Nunik padaku.
“Iya,
Bu, Sudah bisa diambil kapan ya, Bu?” jawabku.
“Wah,
kalau sekarang belum ada. Sering-sering saja main kesini.” Jawab Bu Nunik.
“Tahun lalu ada siswa yang diterima jaluk PMDK UNS tapi tidak diambil, jadi
tahun ini sekolah kita masuk blacklist
UNS. Mereka tidak ngasih formulir lagi.”
“Wah,
gawat dong, Bu. Bisa-bisa tahun ini tidak ada PMDK sama sekali,” jawabku.
“Masih
ada kemungkinan. Kan masih ada UNDIP. Yang penting, nanti kalau tembus PMDK ya
harus diambil,” tambah bu Nunik, “Kasihan adik kelasnya kalau sekolahnya di-blacklist.”
“Ya
iyalah, Bu. Sudah bisa diterima saja alhamdulillah banget. Masak nggak
diambil,” jawab Iqbal.
Akhirnya
kami berempat kembali ke kelas masing-masing. Aku dan Riandoko naik ke lantai
2. Sedangkan Iqbal dan Ridzky di lantai 1. Kami berempat memang sering sekali
main bersama di kosan Iqbal. Sekedar untuk mengerjakan PR bersama atau sharing tentang impian masing-masing.
Uniknya,
kami berempat mempunyai hobi yang sama yaitu musik. Akhirnya kami pun membentuk
sebuah grup band. Aku pegang gitar, Ridzky keyboard, Iqbal yang jadi vokalnya,
lalu Riandoko tukang pemukul drumnya.
Walaupun
termasuk anak band, namun kami ini berbeda dari lainnya. Kami tidak banyak
keluyuran, apalagi pacaran. Kami tidak ada waktu untuk itu karena kami
benar-benar fokus untuk meraih impian masing-masing. Bermain musik hanyalah
sebatas mengisi kejenuhan setelah belajar.
Berminggu-minggu
aku dan Riandoko mondar-mandir ke Ruang BK mencari info formulir PMDK tapi
belum ada hasilnya. Kami berdua sering mengorbankan jam istirahat atau makan
siang hanya untuk berkonsultasi dengan bu Nunik.
Sampai
tiba waktunya datang informasi tentang PMDK yang sudah dinantikan hampir
seluruh siswa di sekolahku. Akhirnya formulir PMDK tersebut datang juga di
sekolahku.
Aku
dan Riandoko menjadi orang pertama dan kedua yang berhasil memegang formulir
tersebut. Wajar saja, itu adalah perjuangan kami untuk selalu mondar-mandir ke
ruangan BK menanyakan kabar PMDK tersebut.
“Jadinya
masih galau nggak nih mau nulis jurusan apa? Sudah ada formulirnya di tangan
kita loh...” tanyaku kepada Riandoko.
“Sudah
enggak dong. Aku sudah punya pilihan kok sekarang.” Jawabnya. “Aku mau ambil kedokteran
saja. Biar sama kayak kamu. Nanti kita bisa main dokter-dokteran bareng.
Hehe...”
“Yaelah,
Ndoook. Akhirnya kedokteran juga toh kamu.”
Kami
berdua kembali ke kelas untuk mengisi formulir tersebut. Belum sempat kami
mengisi formulir itu, ada temanku yang datang menghampiri kami berdua.
“Nah,
ini dia Dena sama Riandoko,” kata Johan.
“Kenapa
nyariin kami, Jon?” tanyaku.
“Aku
mau minta formulir PMDK. Mau difotokopi buat teman-teman yang lain juga,” jawab
Johan.
“Lho,
lho. Formulir PMDK kan tidak bisa difotokopi. Ini memang dicetak terbatas,
Jon,” jawabku lagi.
“Tadi
aku sudah ketemu bu Nunik. Katanya suruh minta ke Dena atau Riandoko saja,” tambahnya
lagi.
“Wah,
kalau gitu kita ke Ruang BK lagi saja. Biar saya tanyakan dulu ke Bu Nunik,” jawabku
lagi.
Akhirnya
kami semua bergegas menemui Bu Nunik di Ruang BK. Setelah dikonfirmasi, rupanya
memang formulir PMDK tahun ini boleh diperbanyak dan dibagikan ke siapa saja
siswa yang berminat untuk mendaftar pada jalur tersebut.
Alhasil
aku dan Riandoko lemas mendengar itu.
“Yah,
percuma kita tiap hari mondar-mandir mencari formulir ini.” kataku kepada
Riandoko.
“Yang
santai-santai di kelas juga bisa dapet dengan cuma-cuma,” jawabnya.
“Yah
tidak apa-apa deh, bagi-bagi rezeki,” kataku sambil menuliskan sebuah kata pada
formulir PMDK tersebut. “FAKULTAS KEDOKTERAN”. Lalu aku kumpulkan kembali
kepada Bu Nunik di ruang BK.
Pada
akhirnya, entah mengapa tidak ada siswa di sekolahku yang tembus jalur PMDK
tahun 2008 itu. Mungkin karena pernah ada blacklist
dari kampus lain atau apalah
kami tidak mengerti.
Kami
tak menghiraukannya dan tidak merasakan kesedihan sama sekali. Toh juga memang
tidak ada siswa yang diterima.
Itu
adalah kali pertama aku tidak berhasil menembus Fakultas Kedokteran. Walaupun
aku tidak mengira bakal ada kali kedua, kali ketiga, dan kali-kali selanjutnya
yang membuatku merasa begitu kebingungan seperti malam ini.
Bergerak
dan Terus Bermimpi
Beberapa
waktu setelah itu, kami mendengar informasi mengenai Ujian Mandiri untuk masuk
perguruan tinggi UGM. Disusul dengan Ujian Mandiri masuk UNDIP.
Antusiasme
kembali muncul di wajah para siswa. Walaupun tampaknya banyak dari mereka yang
mulai ragu dengan nominal angka yang harus diisi sebagai uang masuk jika memang
mereka diterima melalui jalur Ujian Mandiri.
Ujian
Mandiri memang terkenal sangat mahal. Biaya masuknya sudah diurutkan sesuai
dengan banyaknya peminat maupun prospek jurusannya. Tentu saja Fakultas
Kedokteran menjadi nomor wahid dengan biaya termahal yaitu minimal lima puluh
juta rupiah.
“Wah,
aku gak ikut kalau jalur UM-UM-an gini,” kata Iqbal, “Kasihan orang tuaku. Aku
mau berjuang biar lulus SNMPTN.”
Beberapa
orang temanku ada yang mengisi jumlah uang yang gedung sebesar nol rupiah,
namun sambil melampirkan surat keterangan tidak mampu dari tempat tinggalnya.
“Gimana,
Pak. Aku ikut Ujian Mandiri juga atau tidak?” Aku berdiskusi dengan kedua orang
tuaku.
“Ikut saja tidak apa-apa, Dena.” Kata Bapak.
“Terus
aku isi nominal biayanya berapa, Pak? Tanyaku.
“Jangan
diisi nol rupiah. Bapak masih bisa mengupayakan uang lima puluh juta untuk
biaya masuk di Fakultas Kedokteran, insha Allah kita sama-sama berdoa terus
sama Allah.”
Aku
mantap melanjutkan perjuanganku untuk berlaga di Ujian Mandiri. Baik itu UGM
maupun UNDIP, keduanya aku ikut. Keduanya pula, aku tuliskan sebuah nama,
Fakultas Kedokteran.
Riandoko
juga ikut Ujian Mandiri UGM dan UNDIP. Sedangkan Ridzky hanya ikut Ujian
Mandiri UNDIP saja. Iqbal masih fokus untuk mengejar jalur SNMPTN.
“Ayo,
kita belajar bareng lagi dikosanku,” ajak Iqbal.
“Yuk,
udah lama nggak main ke kosan Pati,” jawabku.
Kami
berempat singgah di kosan Iqbal sore hari sepulang sekolah. Di sana kami
melihat situasi kosannya yang penuh dengan buku.
Ya,
penuh dengan buku lengkap dengan stabilo dan kertas catatan kecil. Berserakan
di mana-mana. Buku-buku pelajaran kelas XII SMA. Jelas itu buku pelajaran milik
Iqbal. Dia begitu bersemangat memburu SNMPTN. Demi kedua orang tuanya di
kampung halaman pasti.
“Dasar, Pati itu anaknya ruajiin tenan. Tuh
liat bukunya aja berserakan di mana-mana.” kata Riandoko.
“Huuu
kalau di sekolah aja ngajaknya ngeband melulu. Rupanya karena di kosan
kebanyakan belajar sih,” kata Ridzky.
“Nha,
kan kudu seimbang aa. Study hard and Play
Harder, hehe...” jawab Iqbal sambil berlagak menggunakan bahasa Inggris
namun tetap masih terlihat dialeg jawa khas Pati.
Kami
berempat belajar bersama mengerjakan soal-soal latihan ujian dari koleksi buku
milik Iqbal. Ya, sekali lagi, walaupun label sebagai anak band melekat pada
diri kami di sekolah, namun kami adalah anak-anak yang bermimpi besar. Mungkin,
di dunia ini hanya kami lah anak band yang kutu buku.
“Kereeen.
Teman-temanku pintar semuaa. Soal sesulit ini akhirnya bisa terpecahkan juga
berkat otak kita yang brilian, hehe...” kata Iqbal sambil merebahkan dirinya di
lantai.
Sudah
satu jam lebih kami serius berkutat dengan puluhan soal. Wajar saja kami mulai
lelah dan ingin bersantai.
“Ayo,
Dena, Diminum dulu. Ayo, Ndoko, Pak Dokter Ridzky, jangan malu-malu.”
Maklum
anak kosan, kami minum sebotol air putih dari kulkas dengan secangkir gelas
yang dipakai bergantian. Namun kami sangat menikmati suasana itu. Kelak kami
akan merindukan masa-masa ngumpul bareng
seperti ini.
“Besok
kalian bertiga akan jadi dokter. Yang bukan dokter cuma aku. Jadi aku kalau
sakit bisa pilih berobat ke dokter Ridzky, Riandoko, atau Dena. Gratis
semua...hehe” kata Iqbal sambil bergurau.
“Ya
periksanya gratis, tapi obatnya tetep bayar lho Pati, hehe...” jawabku.
“Besok sekali-sekali pas liburan kuliah main
ke rumahku di Pati. Nanti aku kenalin ke orang tuaku. Mereka orangnya baik
banget. Nanti aku kasih makanan namanya nasi jagung. Belum pernah makan pasti
kan?” Ajak Iqbal.
“Siaaap...
nanti aku diajarin cara ngasih makan sapi ya Pati, hehe...” sahut Riandoko.
Tak
terasa memang, sudah tiga bulan berjalan di penghujung semester terakhir di
SMA. Itu artinya memang, kurang tiga bulan lagi kebersamaan kami. Setelah itu,
semuanya akan menempuh perjalanan hidupnya masing-masing.
“Oiya,
kita pada mau datang di acara malam perpisahan kan? Di hotel Rinjani itu,”
Tanyaku kepada mereka.
“Insha
Allah, mumpung masih bisa ketemu temen-temen,” jawab Ridzky.
“Soalnya
begini, kata si Mahdi, temen sekelasku yang jadi panitia, ada acara live
musiknya juga. Aku ditawarin sama dia, band kita mau ngisi enggak,” kataku.
“Waduhh...
ya kepingin sih, tapi masih malu juga kalau harus nyanyi depan banyak orang.
Apalagi depan temen sendiri, bisa ngakak sendiri nanti nggak konsen, haha...”
jawab Iqbal.
Bandku
memang baru saja dibentuk justru di masa-masa terakhir aku memakai seragam
putih abu-abu. Sehingga jam terbang kami memang masih sangat minim. Kami belum
pernah manggung sama sekali, namun justru ini akan menjadi cerita baru bagiku
dan teman-teman.
Menggores
Kisah yang Baru
“Nggak apa-apa, Pati. Aku juga belum pernah
main gitar di panggung. Kita semua sama-sama belum berpengalaman semua, tapi
ini justru bisa menjadi pengalaman berharga kita,” jawabku.
“Nanti
aku buatkan lagu khusus buat band kita. Biar keliatan keren, lho. Ini band baru
udah punya lagu sendiri.” Aku menambahkan semangat kepada teman-temanku.
“Oke
deh gapapa. Kita masih punya waktu dua bulan buat latihan.” Iqbal akhirnya
menyanggupi. Begitu pula Riandoko dan Ridzky.
Akhirnya,
dua bulan ini menjadi waktu yang begitu padat dengan dua kegiatan, yakni
kegiatan belajar bareng dan latihan ngeband bareng. Kami menjadi semakin sering
bersama. Hingga kami sudah merasa seperti saudara sendiri.
“Minggu
depan Dena dan Riandoko berangkat ke Jogja buat Ujian masuk UGM. Semoga lancar,
ya.” Kata Ridzky.
“Udah
jangan mikirin manggung dulu, hajar dulu tuh soal-soal di Jogja nanti. Kan kita
udah sering latihan soal. Pasti sukses!” tambah Iqbal.
Aku
dan Riandoko berencana untuk berangkat bersama naik motor ke Jogja. Sampai tiba
juga kami berdua di kampus UGM untuk bertempur melawan puluhan soal. Di luar
dugaan, Ujian Mandiri UGM memang luar biasa. Luar biasa susahnya!
“Ah,
sudahlah. Aku pusing kalau mengingat lagi ujian yang tadi,” kata Riandoko.
Teman sejenius Riandoko saja dibuat kerepotan dengan soal ujiannya.
Seminggu
setelah ujian masuk UGM, kami kembali bertempur melawan Ujian Mandiri UNDIP.
Kali ini, Ridzky ikut menjadi bala tentaranya.
“Semangat
ya teman-teman, aku doain kalian semua sukses!” kata Iqbal beberapa hari
menjelang ujian dimulai.
Masih
sama dengan ujian masuk UGM. Pada Ujian Mandiri UNDIP kali ini aku pun masih
berjuang merebut posisi bangku Fakultas Kedokteran. Begitupun kedua temanku,
Riandoko dan Ridzky. Alhamdulillah, Ujian Mandiri UNDIP terasa jauh lebih mudah
daripada UGM.
Aku
begitu senang memiliki sahabat yang selalu bersemangat seperti Iqbal, Riandoko,
dan Ridzky. Mereka selalu memberi energi ketika aku berhadapan dengan soal-soal
ujian masuk. Walaupun energi terbesarku masih tetap membayangkan bapak ibu
tersenyum melihat anaknya masuk Fakultas Kedokteran.
Akhirnya,
aku menuliskan sebuah lagu untuk acara malam perpisahan nanti dengan tema persahabatan.
Sebuah lagu yang mungkin teman-temanku menafsirkannya sebagai sebuah lagu
cinta, namun sebenarnya ini adalah lagu yang aku persembahkan untuk mereka
sendiri.
Jalani hari
segenap hati
Mencari
arti kemana langkah pergi
Kau
temaniku setiap langkahku
Tak ada
ragu hilang semua belenggu
Namun ku
tahu waktu berlalu
Tak kan
menunggu tuk bersamamu
Waktu pun
tahu walau kan jauh
Tapi kau
tetap selamanya
Mengapa
cinta slalu bersama
Akankah
cinta slalu bersama
Mengapa
cinta slalu menjaga
Akankah cinta slalu menjaga
“Kamu habis minum apa kok mendadak jadi
romantis begini? Kamu lagi jatuh cinta ya?” tanya Iqbal.
“Jatuh
cinta itu ngga enak, lebih enakan bangun cinta, hehe...” jawabku.
Pukulan
Keras di Wajah
Kami
semakin rajin untuk berlatih ngeband. Meskipun Ujian Nasional semakin mendekat,
tapi semangat kami semakin berkobar. Sepulang sekolah menjadi agenda rutin kami
untuk berkumpul. Pertama, kami belajar bersama mengerjakan kumpulan soal. Lalu
kami rehat di studio musik untuk berlatih.
“Lagunya
enak banget, kuncinya gampang ngga neko-neko,” kata Ridzky sang keyboardis.
“Nanti
kalau aku bikin yang susah malah tambah menciut mentalnya buat manggung,” jawabku
sambil bergurau.
“Besok aku bilang ke Mahdi buat daftarin band
kita,” Kata Riandoko.
Ya,
akhirnya kami sang siswa kutu buku ini resmi mendapat nomor urut buat ngeband.
Kami yang biasanya berada di depan kelas untuk presentasi soal pelajaran, kini
untuk pertama kalinya kami akan berada di depan untuk bermain musik.
Perasaan
deg-degan, tentu saja ada. Karena itu adalah pengalaman pertama bagi kami
berempat. Namun selama kami selalu saling mendukung, pasti semua akan berjalan
lancar. Ujian Nasional pun berhasil pula kami lewati dengan lancar.
Sampai
tiba di hari pengumuman Ujian Mandiri UNDIP. Aku berangkat di sekolah seperti
biasa. Ku lihat beberapa anak berlari-larian kegirangan.
“Selamat
yaaa.... selamat yaa...”
Terdengar
sorak sorai dari sayup sayup kerumunan anak-anak di sekolahku. Oiya, aku baru
sadar kalau hari ini hari pengumuman Ujian Mandiri UNDIP.
Kalau
dilihat dari model reaksi teman-temanku, tampaknya hampir semuanya tembus deh,
pikirku. Aku semakin optimis bergegas melangkahkan kakiku di kelas, mungkin
inilah hari terbaikku di mana aku melihat bapak ibu tersenyum mendengar kabar
anaknya masuk Fakultas Kedokteran.
“Dena,
sudah lihat pengumuman Ujian Mandiri UNDIP belum?” Ridzky tiba-tiba datang ke
kelasku.
“Ridzky
udah jadi Pak Dokter beneran, euiy!” kata Iqbal yang ikut main ke kelasku.
“Wah,
udah keterima kamu? Selamat yaa, selamat. Aku belum liat pengumumannya,”
kataku.
“Ayo
ke warnet sebelah buat liat pengumumanmu. Biar kami berdua menjadi saksi
sejarah hidupmu. hehe...” kata Ridzky.
“Ridzky
aja keterima, kamu pasti juga. Temen-temen yang biasa-biasa aja banyak yang
keterima Fakultas Kedokteran. Sampai nyesel aku rasanya nggak ikut jadi dokter
sekalian. Haha...” tambah Iqbal.
Akhirnya
kami bertiga berjalan menuju warnet. Hari itu warnet menjadi penuh dengan anak
SMA. Tampaknya mereka juga berbondong ingin melihat hasil pengumuman.
Aku
duduk diapit kedua sahabat terbaikku. Dengan bergegas ku ketikkan alamat situs
pengumuman Ujian Mandiri UNDIP.
“Ayo,
Boy, ketikkan nomor pendaftaranmu,” kata Ridzky.
“Selamat
ya selamat. Yang penting kasih selamat dulu,” Iqbal pun heboh sendiri di
ruangan yang sempit itu.
Setelah
ku ketikkan nomor pendaftaranku, aku melihat sebuah kalimat yang tidak ku
harapkan muncul.
“Nomor
pendaftaran Anda tidak ditemukan dalam daftar mahasiswa Ujian Mandiri UNDIP
2008?? Beneran nggak nih??” kata Iqbal.
“Coba
aku yang ngetik. Mungkin Dena salah ketik.” Ridzky berusaha memproses ulang
halaman pengumuman itu.
Aku
hanya terdiam tak berkata-kata. Ku pikir aku akan melihat senyum bapak dan ibu hari
ini. Senyum yang selama ini aku bayangkan.
“Ngga
apa-apa ya, Dena. Masih ada SNMPTN.” Kata Ridzky setelah berkali-kali
memasukkan nomor pendaftaranku dan melihat hasilnya tetap sama saja, tidak
ditemukan dalam daftar mahasiswa yang lulus Ujian Mandiri UNDIP 2008.
Aku
mulai merasa terpukul dengan pengumuman itu. Masalahnya adalah soal ujian itu
terasa begitu mudah bagiku. Jika yang ini saja aku tidak lulus, bagaimana
dengan hasil ujianku lainnya nanti.
“Nggak
apa-apa, Dena. Nanti kita belajar bareng lagi buat SNMPTN. Tampaknya Allah
masih kepingin kita buat belajar bareng, nih.” Kata Iqbal berusaha menghiburku.
Aku
menarik nafas panjang, ku simpan kembali impianku.
Tunjukkan
Kesungguhanmu
Beberapa
hari setelah pengumuman Ujian Mandiri UNDIP, kami kembali mendapat kabar yang
tidak biasa. Iqbal, diminta oleh ayahnya pulang ke kampung halaman di Pati.
Sepulang
sekolah, aku dan Ridzky sengaja mampir ke kosan Iqbal. Kawanku satunya lagi, Riandoko,
sepertinya juga pergi ke luar kota untuk urusan keluarga.
“Ada
apa Pati, kok mendadak pulang ke Pati?” tanyaku.
“Gak
enak banget sih kamu bertanya. Pati pulang ke Pati,” jawabnya, “Ya nggak ngerti
juga. Diminta Bapak. Gapapa lah sekalian minta doa buat SNMPTN”
“Aku
kemarin ditelpon Bapak dari kampung. Aku cerita banyak hal. Termasuk rencana
kita untuk manggung perdana di acara perpisahan besok,” kata Iqbal menambahkan
lagi.
“Terus
gimana, mesti Bapakmu bangga banget ya anaknya jadi vokalis band?hehe...” sahut
Ridzky.
“Justru
sebaliknya. Inilah yang ingin aku katakan,” jawabnya.
Mendadak
raut wajahnya menjadi penuh kecemasan. Tidak seperti Iqbal yang biasanya penuh
optimis dan canda tawa.
“Bapak
tidak senang dengan kegiatan ngeband kita.”
Iqbal
tampak begitu berat mengatakan ini kepada kami berdua. “Aku merasa bersalah.
Bapak sudah pontang panting cari uang di kampung untuk biaya sekolahku, tapi
aku pakai untuk sewa studio musik berjam-jam lamanya.”
“Jika
hanya begitu saja masih mending. Aku khawatir jika nanti aku tidak lulus SNMPTN
gara-gara kurang prihatin terhadap masa depanku, terlalu sering
bersenang-senang. Pastilah Bapak di kampung kecewa berat denganku.”
Raut
wajahnya merah padam. Aku belum pernah melihat Iqbal seperti ini sebelumnya.
Tampaknya Iqbal pun punya impian besar sepertiku, ingin membuat Bapak Ibunya
tersenyum mendengar kabar dirinya diterima perguruan tinggi. Bedanya, dia
terobsesi berat menjadi dosen kimia.
“Tapi
kita kan tidak ngeband terus-terusan. Kita juga belajar. Lagipula, kita lebih
prioritas belajar kok. Buktinya, kita selalu belajar dulu baru ngeband.”
Jawabku kembali meyakinkan Iqbal.
“Tidak
bisa segampang itu, Dena. Tidak segampang itu untuk menunjukkan keseriusan kita
kepada Allah. Untuk meraih hal yang benar-benar kita impikan, kita harus
menunjukkan keseriusan kita kepada Allah lewat apa saja yang kita kerjakan.”
“Aku
benar-benar khawatir Allah melihatku tidak serius SNMPTN karena terlalu asyik
main musik. Orang tuaku berbeda dengan kalian. Jika aku tidak diterima
perguruan tinggi melalui jalur SNMPTN, aku benar-benar tidak mampu membayar
kuliah lewat jalur lainnya yang mahal.”
Iqbal
benar-benar sedang mengutarakan apa yang selama ini ia khawatirkan. Ya, mungkin
tidak hanya kekhawatiran Iqbal saja. Namun juga kekhawatiran seluruh siswa di
dunia yang bernasib sama dengannya. Lagi-lagi persoalan ekonomi.
“Jadi,
kita tidak jadi manggung?” tanya Ridzky.
“Boro-boro
manggung. Datang saja sepertinya aku tidak,” jawab Iqbal, “Aku benar-benar
tidak ingin menyia-nyiakan beberapa waktu yang singkat ini untuk menunjukkan
keseriusanku kepada Allah dan orang tuaku.”
“Aku
minta maaf kepada kalian semua. Kalian bisa cari vokalis lain dan tetap
manggung di malam perpisahan,” tambahnya.
“Ya
enggak mungkinlah kami cari vokalis yang lain. Kalau cari vokalis lain itu
namanya bukan band kita,” jawabku.
“Jangan
begitu, ini kesempatan kita bisa tampil bersama. Mungkin juga ini yang terakhir
kalinya kita bermain musik bersama.” Aku masih berharap Iqbal mengubah
keputusannya.
“Mana
biar aku saja yang sms minta izin Bapak di kampung, hehe...” tambah Ridzky
sambil bergurau.
“Dengar
ya Dena dan Ridzky, kalau sekali aku bilang tidak ya berarti tidak!”
Baru
kali ini aku melihat Iqbal membentak kami. Aku pun melihat tangannya mengepal
begitu kencang sambil wajahnya semakin merah menahan amarah.
“Aku
pulang saja,” kata Ridzky sesaat setelah Iqbal membentak kami berdua. Segera
dia meraih motornya dan meninggalkan kami berdua.
“Aku
juga pulang dulu,” kataku kepada Iqbal. Aku mengemasi barangku dan bergegas
meninggalkan kosan Iqbal, tempat kami biasa menanam impian bersama. Dan kini
kami sendiri yang justru memangkas kembali impian yang sudah tumbuh begitu
tingginya.
Iqbal
hanya termenung ditinggal kedua kawan terbaiknya. Tak ada respon darinya ketika
kedua temannya pergi meninggalkannya.
Sepanjang
perjalanan pulang aku tak berhenti memikirkan Iqbal. Aku tidak menyangka dia
menjadi begitu marah. Jika aku dan Ridzky tidak segera pulang, mungkinkah
kepalan tangannya itu jatuh ke wajah kami? Ah, tidak mungkin. Dia anak yang
begitu baik dan patuh kepada orang tuanya.
Mungkin
karena sayangnya terhadap bapak ibunya di kampung, dia akhirnya melepaskan
segalanya yang dia inginkan demi orang tuanya. Aku pun mengerti kondisinya saat
itu. Iqbal benar-benar ingin melihat bapak ibunya tersenyum seperti impianku
juga. Kami berdua sama.
Lelah
yang Tiada Tepi
Aku
tetap saja masih saja menaruh harapan bahwa Iqbal akan kembali bergabung kepada
kami untuk manggung bersama di acara malam perpisahan.
“Tidak
mungkinlah, lihat sendiri situasinya sudah seperti kemarin. Kamu mau kita malah
jadi bertengkar gara-gara masalah ini?” kata Ridzky kepadaku di sekolah.
“Masalahnya
kita sudah mendaftar. Kita sudah mendapatkan nomor urutan main sebagai band
pembuka. Tidak bisa begitu saja cancel.”
Jawabku kepada Ridzky.
Akhirnya
aku benar-benar berpikir untuk mencari vokalis lainnya. Beberapa nama temanku
yang aku pernah dengar suaranya cukup lumayan sudah aku tuliskan.
“Gimana
kalau kita ajak Bramudya? Dulu aku pernah sekelas dengannya, dia sukanya nyanyi
gak jelas di kelas, tapi suaranya lumayan oke,” kataku kepada Ridzky.
“Waduh
jangan kalau anak itu. Bagus sih memang suaranya. Dulu aku pernah liat dia pas
latian ngeband, nggak pernah fokus. Ketawa terus, nggak kelar-kelar nyanyinya,”
jawab Ridzky.
“Riandoko
kemana sih lama banget ke luar kota.” Kawanku yang satu itu memang mendadak
tidak ada kabar sama sekali.
Selain
sibuk memikirkan vokalis pengganti, aku pun tak lupa dengan cita-citaku menjadi
dokter. Sehingga aku pun mengisi kepalaku dengan berbagai jejalan materi sebagai
bekal SNMPTN yang akan aku hadapi besok.
Sampai
akhirnya, mungkin karena terlalu lelah, aku jatuh sakit juga. Tidak main-main
rupanya, badanku panas setinggi 40 derajat celcius. Ibu langsung membawaku ke
rumah sakit.
“Kok
diinfus segala sih, Bu. Aku kan jadi nggak bisa sekolah.” kataku kepada Ibu.
“Ibu
khawatir kamu kena demam berdarah, Dena. Lebih baik istirahat sebentar. Apalagi
sudah mau ujian SNMPTN, kamu harus fit,” jawab Ibu.
“Jangan
diingetin SNMPTN, Bu. Justru dia itu sakit karena kebanyakan mikir ujian,
hehe...” Ada kakak juga yang ikut menungguku di rumah sakit. Sambil ngeledekin
aku.
Ya
sudahlah, tampaknya aku memang terlalu lelah.
Aku
menghubungi Ridzky untuk memberitahukan kondisiku sekarang. “Ridzky, aku tidak
masuk sekolah hari ini. Aku diopname karena ada gejala demam berdarah.”
Yang
jadi masalah, tepat dua minggu lagi malam perpisahan diselenggarakan. Aku tidak
tahu berapa lama aku harus bermalam di rumah sakit. Aku masih belum berlatih dengan
teman-teman. Aku pun belum menemukan vokalis pengganti.
Energi
Penghabisan
“Bagaimana nasib band
kita? Impian manggung membawakan lagu sendiri tak usah lagi diharapkan. Vokalis
tak ada, gitaris pun sedang terbaring tak berdaya di rumah sakit.”
Aku
membaca sebuah pesan masuk. Dari Riandoko rupanya. Lama sekali dia juga tak ada
kabarnya. Kini dia datang bersama Ridzky untuk menjengukku di rumah sakit.
“Den,
aku sudah cancel jadwal kita manggung
ke Mahdi,” kata Riandoko.
“Sudahlah,
yang penting kamu sehat dulu, biar bisa belajar bareng lagi sama Pati buat
persiapan SNMPTN,” tambah Ridzky.
“Masih
ada Ujian Mandiri UNDIP kedua kok, Dena. Aku juga mau coba daftar itu,” kata
Riandoko.
Ternyata,
Riandoko juga tidak lulus Ujian Mandiri UNDIP Pertama. Dia dan diriku pun
akhirnya ikut untuk seleksi kedua.
Seminggu
kemudian, badanku sudah lumayan pulih. Aku sudah kembali berkumpul dengan
teman-teman di sekolah. Tanganku sendiri memang menjadi bengkak karena bekas
suntikan infus, jelas sudah tidak bisa aku mainkan kunci-kunci gitar dengan
kondisi tangan sebesar gajah ini. Jadi memang tidak mungkin lagi aku paksakan
diriku untuk manggung. Sudahlah, yang penting Fakultas Kedokteran harus
terkejar.
“Maaf
ya teman-teman. Aku nggak ada maksud membuat band kita jadi berantakan dengan
pulang ke Pati. Aku cuman ingin kita fokus ujian masuk perguruan tinggi dulu,”
kata Iqbal.
“Nggak
apa-apa, Pat. Aku juga mendadak sakit, mungkin juga ditegur sama Allah,” kataku.
“Sudah,
kita belajar bareng lagi yuk, aku sama Dena minggu depan ada tes Ujian Mandiri
UNDIP Kedua, doain kami ya,” Riandoko pun masih semangat mengejar masa
depannya.
“Semoga
sukses ya, kawan,” Ridzky, menjadi satu-satunya siswa di antara kami yang sudah
mendapat perguruan tinggi.
Tiba
juga saatnya aku kembali berlaga di Ujian Mandiri UNDIP Kedua. Hanya kali ini
saja, aku tidak menulis Fakultas Kedokteran. Sebab ini sebenarnya adalah
seleksi untuk masuk ke kelas ekstensi atau kelas malam. Jelas, tidak mungkin
ada kedokteran. Aku dan Riandoko memilih jurusan Akuntansi.
Hasilnya,
kali ini Riandoko berhasil lulus seleksi. Dia telah resmi menjadi mahasiswa
Akuntansi UNDIP program ekstensi. Sedang diriku, mungkin karena stamina yang
belum fit setelah lama terbaring di rumah sakit, aku masih terseok gagal untuk
menembus bangku perguruan tinggi.
“Dena,
sudah jangan kebanyakan main gitar. Ayo kita berdua fokus untuk SNMPTN. Ini
kesempatan terakhir,” kata Iqbal.
Benar
sekali. Ini adalah kesempatanku yang terakhir untuk melihat senyum bapak dan
ibu bahagia sebab anaknya masuk Fakultas Kedokteran. Jika kali ini aku juga
gagal, berarti aku sudah tidak punya harapan apapun. Bahkan, berharap masuk
Universitas Negeri pun tak ada.
Dua
minggu menjelang ujian SNMPTN tiba. Aku kerahkan segenap kemampuanku untuk
belajar. Setiap malam aku bangun pukul dua pagi untuk belajar. Disambung dengan
sholat malam, aku begitu khusyuknya berdoa mudah-mudahan bayangan senyum bapak
dan ibu itu menjadi nyata.
“Dena,
ayo subuh di masjid,” ajak Bapak pada hari ujian SNMPTN dimulai.
“Iya,
pak,” aku bergegas meninggalkan buku kumpulan soal yang sudah aku geluti
semalaman berserakan di kamar untuk mengambil wudhu. Hari itu adalah hari di
mana aku benar-benar yakin doaku akan terkabul.
“Kan
sudah belajar terus dari kemarin, sekarang berdoanya yang kenceng, nanti baca
ayat kursi pas masuk ruang ujian,” kata Ibu sebelum aku berangkat ujian SNMPTN.
Lokasi
ujian SNMPTN yang memang cukup jauh dari rumah membuat aku harus berangkat
diantar bapak naik mobil.
“Bapak
tunggu kamu di masjid sana. Nanti kalau sudah selesai kirim sms ya,” kata Bapak
padaku.
“Iya,
Pak. Doain ya biar lancar,” kataku.
“Bapak
doakan Dena mendapatkan jurusan yang terbaik menurut Allah saja, jika Fakultas
Kedokteran itu jurusan yang terbaik menurut Allah ya pasti dikasih ke Dena,”
jawab Bapak.
Bapak
meninggalkanku di lokasi ujian. Mobilnya terlihat bergerak menuju sebuah masjid
dekat lokasi ujianku. Kebiasaan Bapak dari dulu sejak aku ujian masuk SMP,
setiap menunggu aku ujian, Bapak selalu singgah di masjid untuk mengaji.
Ya,
aku hadapi seleksi SNMPTN hari pertama dengan semangat yang begitu menggelora.
Fakultas Kedokteran UNS menjadi pilihan pertamaku, sedangkan pilihan kedua aku
pilih Teknik Informatika UNS.
Selesai
sudah. Hari pertama aku lalui, dengan penuh kekacauan. Ya, aku dibuatnya kesulitan
dengan soal yang tidak pernah ku temui dalam ratusan kumpulan soal yang ku
pelajari.
Hilang
sudah harapanku menjadi dokter. Aku sama sekali tidak optimis bisa menembus
Fakultas Kedokteran. Walaupun masih ada hari kedua ujian SNMPTN, tapi dengan perkiraan
skorku di hari pertama saja aku sudah pesimis. Untuk mengejar jurusan Teknik
Informatika UNS saja sepertinya sulit.
Sang
Maha Pemilik Skenario
Begitulah
akhirnya. Seperti yang ku lihat malam ini. Tidak ada namaku dalam daftar
mahasiswa yang lulus ujian SNMPTN.
Iqbal,
kawanku yang berkirim pesan ini, sepertinya paham betul yang aku rasakan. Aku
dan dia punya visi yang sama, demi orang tua. Bedanya, dia kini berhasil
benar-benar melihat senyum bapak ibunya, sedang aku masih membayangkan saja.
Beberapa
saat kemudian, ada informasi yang membuka sedikit harapan bagiku. UNS akan
mengadakan Ujian Masuk Swadaya seperti Ujian Mandiri. Bedanya, UNS akan
langsung menggunakan nilai SNMPTN untuk mengukur apakah layak tidak untuk
diterima dalam program swadaya.
Akhirnya
aku masuk juga di jurusan Teknik Informatika UNS melalui jalur Ujian Swadaya
tersebut. Walaupun masih ada di dalam jiwaku sebuah nama Fakultas Kedokteran.
Aku
teringat Ibu pernah berkata padaku, “Dena, Ibu jadi guru SMA rasanya seneng
kalau ketemu murid-muridnya Ibu yang sekarang sudah sukses. Ada yang masuk
kedokteran, ada yang masuk STAN. Ibu seneng berhasil mendidik murid ibu. Tapi
kadang ibu sedihnya, muridnya Ibu saja bisa masuk jurusan favorit, tapi anak
ibu sendiri kok malah tidak. Semoga Allah kasih jalan yang terbaik untuk Dena
yang sudah berjuang berkali-kali.”
Maka,
ku putuskan kembali menjajal SNMPTN 2009 setelah satu tahun menjabat sebagai
mahasiswa Teknik Informatika UNS. Ku tuliskan lagi pilihan pertama Fakultas
Kedokteran UNS dan pilihan kedua Fakultas Kedokteran UNDIP. Ditambah, aku juga mencoba ikut seleksi Ujian
Saringan Masuk STAN 2009.
Hasilnya
sama saja. Rupanya mungkin memang aku bukan terlahir untuk menjadi dokter. Aku
gagal lagi. Itu artinya, kini total sudah lima kali aku ditolak mentah-mentah
dalam berbagai jenis ujian masuk Fakultas Kedokteran.
Namun
di luar dugaan, justru aku tembus di Ujian Saringan Masuk STAN 2009 yang tidak
pernah aku rencanakan. Padahal, Ujian Saringan Masuk STAN terkenal dengan
jumlah peminat yang banyak hingga pernah mencapai 10.000 pendaftar.
Aku
yang masih di Surakarta segera menelpon orang tuaku.
“Pak,
Bu, aku lulus STAN, diambil nggak?” tanyaku.
“Alhamdulillah,
ya Allah. Dena lulus STAN, Bu. Sujud syukur gih, Dena!” jawab Bapak terdengar
begitu haru dalam telfonku.
Tanpa
perlu menunggu jawaban dari Bapak Ibu, melihat responnya saja aku sudah tau
jawabnya. Aku akan segera beralih status menjadi anak STAN Jakarta.
Perjalanan
adalah Sesuatu yang
Menyenangkan
“Pak
Dokter, sudah bisa bedah orang?” tanya Riandoko.
“Gampang
itu Ndok kalau cuman bedah, jahitnya lagi itu yang susah, hehe...” jawab
Ridzky.
Sekian
lama kami tidak bertemu. Akhirnya kami bertemu lagi, setelah beberapa lama
menjalani takdirnya masing-masing.
“Dena
tuh sekarang calon PNS, potongan
rambutnya sudah rapih,” kata Ridzky.
“Iya,
boy. Tuntutan profesi, hehe...” jawabku.
Kami
bertiga berkumpul kembali, namun tanpa Iqbal. Tampaknya dia sedang sibuk
menjadi asisten dosen di Jurusan Teknik Kimia UNDIP. Kawanku itu memang anak
yang tak pernah lelah untuk mengejar impiannya.
Iqbal,
sekarang kita sudah sama. Kau berhasil mewujudkan impianmu, aku pun begitu.
Rupanya, impianku bukanlah Fakultas Kedokteran. Tapi impianku sesungguhnya adalah
membuat bapak dan ibu tersenyum. Walau tak melihatnya, namun aku merasakannya. Ketika
ku kabarkan lulus STAN melalui telepon, aku merasakan bayangan senyuman Bapak
dan Ibu.
Apakah
itu artinya aku gagal untuk menggapai arti inisial nama DR yang melekat seumur
hidup padaku? Tentu saja tidak.
Justru
itu akan selalu menjadi pengingat bagiku. Inisial tersebut akan selalu menjadi
pemicu semangat agar aku selalu berusaha keras untuk semakin membuat orang
tuaku bahagia.
Apalah
artinya seorang anak hidup di dunia jika bukan untuk berbakti kepada orang
tuanya. Jangan menyerah walau apapun yang terjadi. Sebab Sang Maha Kuasa pasti
akan membantu kita untuk membuat orang tua selalu tersenyum, melalui skenario
yang tak pernah terpikirkan seperti yang ku alami.
---ooOoo---
0 komentar:
Posting Komentar