Rabu, 07 Oktober 2020

Jangan Malas Bekerja, Sebab Bahkan Para Nabi Pun Bekerja

Kita sering beranggapan bahwa yang disebut dengan beribadah ialah mengerjakan sholat dengan khusyuk, berlama-lama di masjid untuk berdzikir, atau menjalankan puasa sunnah dengan banyak. Padahal yang dimaksud dengan ibadah memiliki cakupan makna yang begitu luas. Tidak terbatas hanya ibadah ritual, tetapi juga ada bentuk ibadah sosial. Salah satu bentuk ibadah yang dicontohkan langsung oleh para nabi beserta sahabat ialah giat bekerja sesuai dengan profesi dan keterampilan masing-masing.

Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali memiliki profesi khusus sebagai seorang pekerja. Meskipun para nabi mengemban risalah kenabian, mereka tetap bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mulai dari Nabi Adam yang berprofesi sebagai tukang tanam pohon, hingga Rasulullah SAW yang terkenal sosoknya sebagai saudagar besar, kemudian diikuti oleh para sahabat dengan profesinya masing-masing seperti Abu Bakar dan Usman yang merupakan pengusaha kain dan tekstil.

Kita bisa melihat, semuanya bekerja menjalankan profesinya dengan totalitas. Nabi Daud, yang diriwayatkan sebagai seorang pandai besi, atas izin Allah mempunyai kemampuan dapat melumerkan besi menjadi bentuk yang dikehendaki. Jika kita punya keahlian luar biasa tersebut, tentu akan banyak produk yang dapat kita hasilkan setiap hari. Tetapi Nabi Daud hanya berhasil menyelesaikan satu baju perang besi setiap hari.

Bukan karena lama dalam bekerja, tetapi justru ada pelajaran yang ingin ditunjukkan, bahwa Nabi Daud teramat bersungguh-sungguh untuk menciptakan sebuah output terbaik. Meskipun dikaruniai kemampuan sedemikian hebat mampu melumerkan besi, tetapi tidak serta merta menjadikan Nabi Daud bekerja dengan asal-asalan jadi. Terbukti, baju perang yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh tersebut kemudian mampu dijual di pasar dengan harga 6000 dirham perak.

Sesungguhnya bekerja dapat dimaknai sebagai sarana untuk memudahkan kita dalam melakukan amal sholeh. Melanjutkan kisah Nabi Daud tersebut, hasil penjualan baju besi seharga 6000 dirham tersebut hanya diambil sepertiganya atau 2000 dirham saja untuk dirinya. Sedangnya sisanya sebanyak 4000 dirham diserahkan kepada masyarakat dan disedekahkan.

Sebagai seorang muslim, kita diharuskan memiliki mental yang kuat dalam menyedekahkan harta hasil jerih payah kita bekerja, bukan justru gemar menimbun harta. Semestinya tidak ada lagi perasaan khawatir akan kekurangan harta jika kita sedekahkan hasil kerja kita. Justru menyedekahkan harta tersebut mampu membuat pekerjaan kita menjadi lebih berkah. Sebab salah satu indikator sebuah pekerjaan dikatakan memiliki keberkahan ialah jika pekerjaan tersebut mampu mendukung aktivitas ibadah kita, seperti membuat kita memiliki kemampuan dalam berderma.

Sebagaimana dicontohkan para nabi, dengan bekerja maka kita pada hakikatnya telah menjalankan sunnah nabi. Rasulullah bersabda bahwa bekerja dan mencari nafkah memiliki keutamaan sebagaimana seorang yang berjihad di jalan Allah.

"Seseorang yang ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, maka itu fi sabilillah, kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia, maka itu fi sabilillah, kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, maka itu fi sabilillah." (HR Thabrani)

Begitulah islam menghormati seseorang yang giat dalam bekerja dengan kedudukan yang sangat mulia. Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa Rasulullah berjumpa dengan seorang tukang batu. Dilihatnya tangan tukang batu tersebut kasar melepuh, sebab setiap hari digunakan untuk membelah batu dan dijual ke pasar untuk menafkahi keluarganya. Kemudian Rasulullah justru menggenggam tangan tersebut, menciumnya, kemudian berkata bahwa itulah tangan yang kelak tidak akan pernah tersentuh api neraka.

Rasulullah tidak pernah mencium tangan para pemimpin, raja, atau sejenisnya, tetapi tangan tukang batu tersebut yang justru melepuh dan kasar malah diciumnya. Begitu besar pengagungan beliau yang pada dasarnya menunjukkan besarnya pula pengagungan Islam ini kepada para pekerja.

Sebaliknya, Islam amat membenci mereka yang bermalas-malasan dalam bekerja, meskipun dengan berdalih ibadah. Ketika Umar bin Khatab menjabat sebagai khalifah dan berkeliling untuk memantau kondisi masyarakat, dia menemukan seorang anak muda yang tengah berdiam diri di masjid pada jam kerja atau di waktu orang lain sedang sibuk-sibuknya bekerja.

Saat anak muda tersebut ditanya sedang apa di masjid, dia menjawab sedang beribadah. Umar kemudian bertanya, bagaimana dia nanti mencukupi kebutuhannya jika hanya berdiam di masjid dan tidak bekerja. Anak muda tadi kemudian menjawab, bahwa dia memiliki saudara kandung yang bekerja dan menafkahinya. Maka Umar bin Khatab lalu mengatakan bahwa saudara kandung tersebut lebih layak disebut ahli ibadah daripada anak muda tadi.

Begitu seriusnya perhatian para sahabat tentang pentingnya bekerja, mereka sampai bergantian mengatur jadwal agar tetap dapat menimba ilmu agama kepada Rasulullah tanpa meninggalkan pekerjaan. Sebagian dari sahabat tetap bekerja, sebagian lain belajar bersama Rasulullah. Kemudian bergantian jadwal, dan masing-masing pun mengajarkan ilmu yang didapatnya kepada sahabat yang lain.

Ada pula seorang ulama hebat dari Bani Israil yang telah mengarang 800 kitab. Namun kemudian justru Allah mewahyukan kepada nabi di masa Bani Israil tersebut dan mengatakan bahwa amalan dari ulama tersebut ternyata masih belum diterima. Mendengar kabar tersebut, ulama tersebut merasa khawatir dan pergi menyendiri untuk beribadah. Setelah sekian lama beribadah, kembali ulama tersebut mendengar kabar dari nabi di masanya bahwa dirinya masih saja belum mendapatkan ridho dari-Nya.

Pada akhirnya ulama tersebut mendapat ilham agar dirinya bekerja dan bersosial dengan masyarakat di pasar. Kemudian dia mendermakan hasil pekerjaan tersebut kepada orang-orang miskin yang membutuhkan. Setelah beberapa lama, ulama tersebut mendengar kabar dari nabi bahwa saat itulah Allah telah memberikan ridho kepadanya.

Pelajaran dari kisah tersebut ialah bahwa jalan untuk menuju keridhoan Allah amatlah banyak, tidak terbatas hanya melalui ritual ibadah. Apapun profesi pekerjaan kita, akan selalu ada jalan untuk mendekat kepada Allah. Kita tidak dapat menilai seseorang yang giat bekerja sebagai seseorang yang cinta dunia, sebab kita tidak dapat mengukur kedekatan kepada Allah hanya dengan melihat profesi dia bekerja. Jangan mencari dunia hingga melupakan akhirat, tetapi jangan menjadikan akhirat sebagai alasan untuk melupakan kewajiban menafkahi keluarga dan menebar manfaat bagi sesama.

Ibadah harus dengan profesional dan totalitas, tetapi bekerja juga harus dengan profesional dan totalitas. Jadikan bekerja sebagai bentuk ikhtiar, kemudian serahkan hasilnya kepada Allah. Dengan mengerjakan sesuatu secara sungguh-sungguh, maka Allah akan memberikan keberkahan atas hasil tersebut. Sebagaimana Nabi Nuh yang bekerja sebagai tukang kayu, ketika dirinya sedang membuat sebuah kapal, tidak sedikit orang yang mencemooh dirinya. Tetapi Nabi Nuh tidak menghiraukan, dia tetap berfokus untuk menghasilkan output pekerjaan terbaik yang pada akhirnya kapal buatannya mendatangkan keberkahan bagi banyak makhluk hidup di masa itu.

Bekerja dikatakan sebagai bagian dari ibadah, ketika bekerja dapat mendukung jalannya ibadah. Yang menjadi kunci utama ialah, bagaimana kita mengatur waktu agar bisa mendapatkan keduanya. Nabi Daud juga memberikan contoh, ketika dia memerintahkan pelayannya untuk menyiapkan pelana kuda, dia menunggu sambil membaca kitab. Dan setiap pelana kuda tersebut telah siap, maka saat itu pula Nabi Daud telah mengkhatamkan membaca kitab tersebut.

Mudah-mudahan kita dimampukan untuk bekerja optimal sesuai profesi dan keterampilan yang kita miliki, kemudian menjadikan hasil kerja tersebut sebagai sarana peningkatan kita untuk beramal shaleh dan semakin mendekatkan diri kepada Allah.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar