Jumat, 09 Agustus 2019

Belajar Mencari Misi Hidup dari Ahmad Fuadi





Melengkapi bagian dari perjalanan hidup saya, beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan untuk bertemu seorang tokoh inspiratif. Bagi saya beliau ini punya kisah yang hampir senada dengan yang saya alami.

Dialah Ahmad Fuadi, penulis novel Negeri 5 Menara, yang mantranya "Man Jadda Wa Jada" begitu akrab di telinga pelajar/mahasiswa menjelang ujian.

Saya ini awalnya tidak sengaja pertama kali mendengarkan ceramah beliau karena mengisi acara Inspirasi Iman tahun 2013 yang dibawakan Ustadz Felix Siauw, tokoh penting juga bagi saya kala itu yang sedang semangat-semangatnya pingin bener Islamnya.

"Man Jadda Wa Jada", tema acara Inspirasi Iman saat itu. Siapa yang bersungguh-sungguh dia akan mendapatkan hasilnya. Sebilah bambu yang ditebas dengan sabit berukuran besar tidak akan patah jika tebasan hanya dilakukan sekali tebas. Namun dengan pisau kecil, bambu tadi bisa patah juga, jika tebasan dilakukan berkali-kali. Intinya, dilakukan dengan sungguh-sungguh dan konsisten. Begitulah kira-kira sebuah adegan di film Negeri 5 Menara.

Yang lebih penting bukanlah ketajaman, kepandaian, dan sejenisnya, tapi kesungguh-sungguhan.


Kemudian, sesuatu yang membuat saya merasa cocok dengan nasihat-nasihat dari mas Fuadi ini ialah karena rupanya beliau mengawali perjalanan hidupnya dengan kondisi "terpaksa". Dipaksa amaknya buat masuk pesantren. Saya cocok, karena saya juga berpengalaman serupa, masuk ke salah satu kampus karena orang tua. Mas Fuadi memberi nasihat bahwa ketika kita nurut dengan kata orang tua, maka di situlah ada ridho dan skenario Allah telah disiapkan dengan luar biasa.

Terbukti, kini mas Fuadi sudah sukses mengenyam beragam beasiswa luar negeri. Tentu ini ada keterkaitan erat dengan sikap patuhnya kepada sang amak. Di balik kesuksesan anak ada doa yang tiada henti dari ibunya.

Lucunya, ketika menceritakan itu, ternyata amak beliau juga hadir di acara Inspirasi Iman itu. Dan saat itu juga saya sedang nonton acara itu dengan ibu saya. Luar biasa sekali kejadian itu bagi saya, sosok ibu anak sedang menyimak acara sosok ibu anak juga.

Belum lagi perjuangan mas Fuadi ini memburu SNMPTN, model-modelnya seperti kisah saya  memburu Fakultas Kedokteran, namun endingnya saja yang berbeda, di saat "the last chance" saya justru gagal.

Ahmad Fuadi yang sebenarnya adalah seorang jurnalis ini bahkan menjadi salah satu role model saya. Saat saya ikut seleksi pegawai untuk menjadi jurnalis di kantor, saya menyodorkan tokoh mas Fuadi ini ke istri saya. Saya bilang, pingin jadi jurnalis seperti Ahmad Fuadi, lalu saya sungguh-sungguh mengikuti seleksi itu.

Maka ketika saya bisa bertemu beliau, dengan posisi pekerjaan saya yang saat ini menjadi jurnalis kantor, ada perasaan yang sangat gembira di hati saya. Bertemu dengan panutan saya dalam bidang yang sedang saya kerjakan sehari-hari. Beliau ini, walaupun telah memiliki segudang prestasi ternyata sangat ramah dan rendah hati. Terlihat ngayomi kami-kami ini yang masih anak bawang jika dibandingkan beliau.

Salah satu poin yang disampaikan mas Fuadi saat di acara Gramedia Writers n Readers Forum 2019 ialah soal kebermanfaatan manusia. Kita diciptakan dengan misinya masing-masing. Tentunya berbeda antara satu dengan lainnya.

Bagaimana kita bisa mengetahui apa misi kita diciptakan?

Sebagai indikator saja, mas Fuadi mengatakan, kalau kita bisa melakukan suatu hal dengan sangat baik, bahkan saat kita belum mengerahkan dengan segenap kemampuan tapi hasilnya selalu menjadi sangat baik, jangan-jangan itulah misi kita.

Tentunya bagi seorang Ahmad Fuadi, misi tersebut ialah menulis. Memberi manfaat kepada orang lain melalui karya tulisannya.

Bagaimana dengan misi kita, sudahkah kita menemukannya? Hmm...

Share:

0 komentar:

Posting Komentar